Apakah dosanya "kalbu". Dosakah kita jika menyebut "kalbu"? Kalau ada yang mengatakan dosa, orang lain mungkin akan berkata "Tuhan itu ternyata tidak adil." Jikalau "kalbu" itu dipersoalkan karena dia berarti "anjing" dalam bahasa Arab, salahkah bibir kita mengucapkan kata itu dengan arti yang lain. Kita ini Indonesia dan bukan Arab.
Sepengetahuan saya, "kalbu" itu sudah ada dan sudah tertera dalam hikayat dan cerita pujangga lama, jauh sebelum republik Indonesia ini ada. Banyak orang yang sepengetahuan dengan saya pastilah sudah tahu dan mengerti benar bahwa "kalbu'" kita gunakan hanya dalam satu arti, yaitu "hati".
Kata "kalbu" yang berarti "anjing" sampai saat ini tidak juga tercatat dalam kamus bahasa Indonesia apa pun. KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) edisi ketiga halaman 493 mengartikan "kalbu" adalah (n) pangkal perasaan batin; hati yang suci (murni); hati. Itu saja, tidak ada arti lain dari itu.
Dalam diskusi bahasa FBBM di Bandung, Jumat 22 September 2006 yang membicarakan kata serapan dari Bahasa Arab, kasus "kalbu" itu mengemuka dan dipersoalkan kembali.
Ada kesan bahwa penggunaan kata "kalbu" itu tidak sopan (tidak menghormati) karena menyimpang dari asalnya (Bahasa Arab). Maka dalam diskusi itu banyak peserta mengajukan usul agar "kalbu" diganti saja dengan "qolbu".
Menurut beberapa peserta (wartawan) yang tampaknya fanatik bahasa Arab, kata "qolbu" itulah yang sebenarnya mewakili arti "hati". Yang lain berkata bahwa "qolbu" lebih tepat karena alfabet dalam bahasa Indonesia juga mengenal huruf "q".
Setahu saya, "qolbu" itu baru muncul dalam lima tahun terakhir, ketika Aa Gymnastiar (ustaz yang lagi naik daun dari Bandung) itu dengan sangat gencar memasyarakatkan "Manajemen Qolbu" di layar televisi.
Saya sering mengikuti ceramah beliau meskipun hanya melalui televisi, dan dalam ceramah itu Aa Gym tidak pernah terdengar berujar bahwa "qolbu" itu dia maksudkan sebagai pengganti kata "kalbu" yang berarti anjing. Beliau hanya menerangkan persoalan peri kehidupan manusia (secara lintas agama) agar setiap orang hidup dalam suasana rukun dan damai.
Tetapi ini wartawan tampaknya aneh. Mereka ribut soal "kalbu" agar diganti saja dengan kata "qolbu" supaya tidak berarti "anjing". Kata mereka, "qolbu" itulah yang dimaksudkan dengan "hati" dalam bahasa Arab, dan karena itu Aa Gym menggunakan istilah Manajemen Qolbu.
Dalam diskusi di Aula Harian Umum Pikiran Rakyat Bandung itu, pembicara yang mewakili ulama Islam, Ustaz Mustafid Amna, dengan sangat bijak berkata bahwa "persoalan arti kata kalbu itu bergantung pada konteks kalimatnya dalam bahasa Indonesia". Biarkanlah "kalbu" tetap seperti itu, dan tidak usah dikembalikan ke bahasa asalnya.
Seandainya pun AA Gym menggunakan kata "kalbu", yang dimaksudkannya tentu bukanlah anjing, sebab tidak pernah dia menjelaskan mengenai persoalan anjing dalam setiap ceramahnya. Yang dia bicarakan tiada lain dari persoalan hati nurani manusia.
Lagi pula, Kepala Balai Bahasa Bandung, Abdul Khak, menegaskan bahwa "kalbu" itu memang sudah lebih dahulu ada dari "qolbu" dan diketahui umum di sejagat Indonesia itu sebagai "hati", dan bukan anjing.
Sebuah kata dalam bahasa Indonesia mungkin sekali memiliki arti yang berbeda dalam konteks yang lain. Mustafid Amna memberikan contoh kata "butuh" yang setiap saat kita sebut berulang-ulang tetapi kita tidak pernah sadar bahwa kata itu juga berarti (maaf, dia tidak mau menyebutkan artinya) dalam konteks yang lain.
Dalam kamus KBBI, "butuh" itu sama artinya dengan "zakar" atau kemaluan lelaki.
Kalimat "saya memerlukan uang", boleh-boleh saja diganti dengan "saya membutuhkan uang". Karena itu otak kita janganlah dimiring-miringkan sebab kata dasar "butuh" dalam contoh kalimat itu tidak sama dengan "zakar".
Saudari Lely, rekan wartawan dari RCTI yang juga hadir dalam diskusi itu, berkata pula, "Pak, dari dulu juga kita biasa makan 'hotdog'. Mengapa kata itu tidak dipersoalkan. Kata 'hotdog' (dari bahasa Inggris) itu boleh jadi berarti 'anjing panas'. Biarkan saja begitu. Toh, yang kita makan juga tetap roti...., dan bukan anjing!"
Sama seperti perkara "kalbu" demikian juga kita perlakukan kata "jemaah" dan "jemaat". Dua kata itu bersal dari bahasa yang sama. Maka biarkanlah rombongan orang (Islam) yang pergi naik haji ke Tanah Suci itu kita sebut "jemaah", dan jangan salahkan pula kaum Kristen jika mereka menyebut umatnya "jemaat".
Dalam diskusi itu, kata "shalat" atau "sholat" juga dipersoalkan. Banyak peserta menganggap kata itu tidak perlu diubah menjadi "salat" untuk mempertahankan ucapannya dalam bahasa Arab.
Sebenarnya KBBI mencatat "salat" (tanpa huruf 'h') oleh karena konsonan ganda "sh" tidak dikenal dalam bahasa Indonesia. Jikalau "shalat" harus kita gunakan juga maka akan muncul persoalan ketika mendapat imbuhan atau prefiks "me-". Menurut tata bahasa Indonesia, kita seharusnya berkata "menyalatkan" dan bukan "menshalatkan".
Pada kenyatannya, para ulama tidak juga mempersoalkan kata-kata yang diucapkannya itu berakar dari bahasa apa, seperti yang tersirat dari ucapan Pak Mustafid Amna, sebab yang terpenting adalah pesan yang disampaikannya itu dipahami oleh umat dalam bahasa Indonesia.
Anehnya, para wartawan agaknya terlalu rumit berpikir sehingga seringkali menyimpang dari arti sebenarnya. Simpang siur arti kata banyak kali memang ternjadi karena ulah wartawan.
Dalam harian Kompas (nama dan peristiwa) beberapa minggu lalu, artis cantik bernama Rieke Diah Pitaloka menyebut "onani" untuk mengatakan orang yang suka melakukan sesuatu untuk (kenikmatan) dirinya sendiri.
Rekan saya menyebut Rieke tidak sopan. Seharusnya artis itu menggunakan kata lain yang lebih enak didengar, dan mengganti kata "onani" itu dengan "swalayan" misalnya. Itu lebih sopan katanya.
Kalau demikian, jangan-jangan orang-orang yang pergi ke pasar atau toko swalayan itu bukan berbelanja, tetapi ramai-ramai pergi untuk beronani. Kata "swalayan" sebenarnya dipungut dari bahasa Sansekerta untuk memberikan padanan pada kata Inggris "super market".
I. Umbu Rey
Senin, 04 Februari 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar