Selasa, 05 Februari 2008

Akhiran "an" menyenangkan

Pak TD Asmadi --ketua FBMM (Forum Bahasa Media Massa)-- gelisah bukan main ketika akhiran "an" ditempel di sembarang tempat secara tidak beraturan. Dia bilang, kata benda itu jangan lagi diberi akhiran "an" sebab berlebihan dan kedengarannya sangat ganjil.

Setakat ini --mungkin karena pengaruh bahasa daerah terutama Jawa-- kata-kata benda seperti sekolah telah diucapkan orang menjadi sekolahan, jalan menjadi jalanan, kubur menjadi kuburan, pondok menjadi pondokan, kantor menjadi kantoran dan seterusnya.

"Usul" adalah jenis kata benda atau nomina, dan karena itu jangan lagi diberi akhiran "an" sehingga menjadi "usulan". Jadi, cukuplah kata itu diucapkan "kita mengajukan usul agar sidang ditunda". "Usulan" adalah hasil dari perkerjaan "mengusulkan". Kata itu turun dari kata: usul ->mengusul->pengusul->pengusulan->usulan.

Ketika Pak TDA pada suatu ketika mengomel-ngomel soal akhiran "an" yang tidak keruan penggunaannya itu, dia kelihatan gelisah, tetapi saya malah mau tertawa lantaran geli. Dia lupa, ada juga kata benda yang diberi akhiran "an" justru menghasilkan benda lain yang enak dimakan.

"Rambut" dan "duri" itu adalah kata benda, tetapi kalau ditambah akhiran "an" akan menjadi buah yang enak disantap. Karena itu jangan sekali-kali makan "rambut" dan "duri" kalau tidak pakai akhiran "an", sebab akan menghantarkan orang yang memakannya itu ke liang kubur.

Susahnya memang, aturan bahasa Indonesia kerap kali tidak dapat beradaptasi dengan bibir orang atau kebiasan orang di suatu tempat. Tetapi, kebiasaan menambah akhiran "an" pada kata benda itu justru memberi sumbangan terhadap kosa kata bahasa Indonesia.

Orang yang terkena jerawat itu kita sebut "jerawatan", begitu juga orang yang berkeringat itu disebut "keringatan", orang yang punya penyakit kudis disebut kudisan, panu menjadi panuan, kurap menjadi kurapan dan koreng menjadi korengan. Mau tambah? Buluk menjadi bulukan.

Pakaian wanita yang letaknya di bagian atas disebut atasan dan yang ada di bawah disebut bawahan.Tetapi yang ada di dalam tetap disebut pakaian dalam, dan bukan "dalaman" atau "jeroan".

Baju yang atas dan bawahnya disambung menjadi satu dahulu disebut "kleit", tetapi sekarang disebut "long dress" atau "terusan". Pengeritan ini tentu saja bukan hasil dari proses "membawahkan dan mengataskan" seperti dalam birokrasi sehingga ada orang atasan (pemimpin) dan ada orang bawahan (pegawai rendahan).

Di dalam tubuh manusia hanya ada dua anggota badan yang mendapat akhiran "an" yakni selangkang yang menjadi selangkangan dan tenggorok menjadi tenggorokan. Mulut tidak dapat menjadi mulutan atau perut menjadi perutan.

Anehnya, yang benda hidup yang terletak di selengkangan lelaki itu disebut "burung" saja dan bukan "burungan".

Menurut tata bahasa, boneka yang digantung di sawah itu disebut "orang-orangan" sebab menyerupai atau mirip dengan orang. Gunanya untuk menakut-nakuti burung pipit, gelatik atau tempua supaya tidak memakan padi.

"Mobil-mobilan" itu adalah boneka untuk mainan anak-anak sebab menyerupai mobil. Gunanya untuk membuat anak-anak gembira dan senang supaya tidak merepotkan ibunya. Begitu juga "rumah-rumahan" adalah boneka yang menyerupai rumah.

Kalau demikian, mestinya yang bergantung di selangkangan lelaki itu bukanlah burung dan lebih cocok disebut "burung-burungan" sebab mirip dengan burung kalong yang sedang tidur pada siang hari.

Jika "mobil-mobilan" adalah boneka mainan untuk menyenangkan anak-anak, maka "burung-burungan" boleh juga disebut boneka mainan ibu-ibu untuk menyenangkan bapak-bapak.

I. Umbu Rey

Tidak ada komentar: