Sabtu, 02 Februari 2008

Menjerat

Sebuah berita dari daerah masuk ke layar komputer saya. Judulnya "Polisi Menjerat Pembunuh Istri Dengan Pasal Berlapis". Saya heran, mengapa polisi kok tega-teganya berbuat kejam sampai menjerat orang. Itu melanggar HAM.

"Menjerat" itu menurut pendapat saya adalah pekerjaan mencekik lawan dengan tali agar tidak dapat lari. Mungkin ini sebuah kiasan saja, tetapi rasa-rasanya perbuatan yang biasa dilakukan oleh "cowboy" atau gembala sapi itu tidak cocok dianalogikan dengan pekerjaan polisi.

Jikalau polisi menjerat dengan pasal berlapis-lapis, maka dapatlah kita membayangkan penderitaan orang yang dijerat itu. Alangkah sengsara hidupnya. Sengsara yang begini tidak bakal membawa nikmat. Apalagi kalau terbukti bersalah, masuk penjara sepuluh tahun, pulang tinggal tulang.

Lain halnya dengan penjahat kelas kakap semisal Tomy Soeharto atau yang belakangan ini Ketua PSSI Nurdin Khalid. Hukuman penjara lima tahun, apalagi cuma dua tahun bagi mereka itu ibarat orang mengambil "verloop", cuti besar. Soalnya di penjara cuma tidur-tiduran sambil nonton teve.

Salahkah kata "menjerat" itu?

Menjerat dari kata dasar "jerat" juga berarti tipu muslihat untuk menyusahkan atau mencelakakan orang lain. (Lihat KBBI edisi ketiga halaman 471). Kalau itu dilakukan pula oleh polisi terhadap penjahat kelas teri, alangkah nistanya perbuatan itu.

Menurut Undang-undang di Indonesia, yang boleh menjatuhkan hukuman hanyalah hakim. Jaksa itu kerjanya cuma menuntut, dan polisi itu kerjanya bukan menjerat. Dia cuma menangkap lalu menahan. Karena itu orang yang ditahan atau ditangkap polisi itu tidak lebih dari tersangka, walaupun sudah jelas dan nyata dia melakukan kejahatan.

Menjerat mungkin sekali menyusahkan orang lain, sama seperti kita menjerat burung, maka burung itu pun akan menjadi susah dan stres, karena tidak akan bebas lagi walaupun berada dalam sangkar emas.

Tetapi, penggunaan kata "menjerat" itu di dalam konteks polisi menjerat dengan pasal berlapis saya pikir tidaklah salah, apalagi jika digunakan untuk masalah orang yang berbuat jahat. HAM atau Hak Asasi Manusia memang tidak diberlakukan di sembarang kasus. Tuhan pun tidak pernah memedulikan HAM ketika gempa bumi memorak-porandakan kehidupan manusia. Maka kita menyebut "ribuan orang mati bergelimpangan".

Dulu waktu zaman Orde Baru, orang senang sekali menghalus-haluskan pengertian. Waktu masih jadi reporter, saya pernah menulis laporan bahwa HR Darsono, mantan Pangdam Siliwangi itu meringkuk di penjara Cipinang.

Kata "meringkuk" itu rupanya dianggap kesalahan besar, dan karena itu saya dimarah-marahi oleh senior saya ketika itu. Saya dianggap tidak sopan karena menggunakan kata yang tidak tepat makna karena terlalu kasar untuk seorang pejabat tinggi ketentaraan.

Padahal, menurut pendapat saya, kata "meringkuk" itu bukanlah metafora atau kata kiasan untuk menjelekkan orang jahat. Kata meringkuk tepat digunakan untuk orang yang masuk penjara, baik itu penjahat kelas teri atau seorang pejabat yang terbukti bersalah, baik tokoh penting maupun tukang pengangkut sampah.

Meringkuk itu artinya masuk ke dalam penjara (Lih KBBI edisi ketiga hal 957). Pada zaman bahari, penjara itu dibuat demikian sempitnya sehingga orang (terhukum) yang dijebloskan ke dalamnya harus merunduk-runduk atau membungkuk-bungkuk. Di dalam penjara dia hanya bisa melipat lutut, berdiri pun tak sempurna. Dari sebab itu orang yang masuk penjara disebut "meringkuk".

Grup band De Loyd pada awal tahu 1970-an mengumandangkan lagu Penjara Tangerang. Sam, pelantun lagunya, dengan suara merdu berkata, "Apalagi penjara Tangerang, masuk gemuk pulang tinggal tulang". Enak benar di telinga para penikmat lagu, termasuk saya.

Tetapi Pak Hato, penguasa Orde Baru yang berjaya ketika itu, resah bukan main, dan marah luar biasa. Dia lalu melarang lagu itu dinyanyikan lagi, karena dianggapnya tidak manusiawi. Sejak itu kata "penjara" diganti dengan kata yang lebih afdol atau lebih halus pengertiannya dan terciptalah istilah "lembaga pemasyarakatan" atau disingkat LP atau lapas.

Rupa-rupanya, Pak Harto melarang penggunaan kata "penjara" dan menggantinya dengan "lembaga pemasyarakatan" untuk mengantisipasi masa depannya sendiri supaya kalau masuk penjara tetap nyaman. Ternayata memang benar, anak kesayangannya Tomy tidak pernah "meringkuk" dalam penjara.

Dia kita ketahui masuk masuk lembaga pemasyarakatan Nusa Kambangan sekadar untuk beristirahat. Sewaktu dalam penjara pun dia boleh keluar untuk melancong dan bahkan boleh kawin lagi dengan artis dan model Sandy Harun, yang konon pernah membantunya ketika dalam masa pelarian.

Lalu, apa salahnya dengan kata "menjerat" di atas? Kata itu agaknya pantas juga digunakan jikalau kita hendak menghukum orang supaya jera. Sebab kalau tidak dijerat, orang tahanan kelas Nurdin Khalid gampang lari dari penjara. Buktinya, Edy Tanzil. Orang ini memang tidak pernah dijerat hukum, maka itu dia gampang lari dan sampai sekarang tak diketahui rimbanya.

Penggunaan kata yang tepat makna mestinya dapat dan harus digunakan lagi. Selama lebih dari 30 tahun kita dididik dalam cara berbahasa yang tidak tepat makna untuk menghaluskan pengertian. Akhirnya kalimat kita tidak pernah mencapai pengertian sesungguhnya, dan akibatnya cara kerja kita pun tak menampakkan kemajuan. Bahasa kita pun menjadi amburadul, persis seperti bahasa manusia dalam Kisah Menara Babel.

Kita dicekok dengan dogma kebohongan lewat penggunaan istilah yang membodoh-bodohkan pikiran. Akal kita dijungkir-balikkan dengan kata yang tidak semestinya, tidak pas dalam konteks. Akibatnya, kata "meringkuk" mungkin tidak lagi dikenal orang. Anak-nak zaman saiki kebingungan kalau kita menyebut orang masuk "bui". Maka itu lembaga pemasyarakatan atau "rumah tahanan" itu kita kembalikan menjadi "bui" atau "penjara".

Kalau suatu saat seorang jenderal, presiden atau anak presiden atau tokoh masyarakat yang korup dan pernah meringkuk dalam bui putus napasnya karena sakit, tidak perlu kita mengatakan "dia berpulang ke Rahmatullah" atau wafat dan mangkat.

Istilah yang ini lebih keliru lagi, "koruptor itu akhirnya dipanggil Tuhan". Itu sih bahasa agama. Mosok, orang yang sudah terbukti bersalah karena korupsi kok dipanggil Tuhan. Mengapa tidak kita gunakan saja kata "mati" atau kalau pejabat korup tertembak maka kita sebut juga "mampus" ditembus peluru. Itu lebih tepat daripada mangkat atau wafat.

Dulu, yang wafat atau mangkat itu cuma raja, tetapi orang awam kalau putus napasnya kita sebut "mati".Demikian juga putra dan putri itu cuma sebutan untuk anak raja. Pak Bejo yang petani tembakau di Jawa Tengah itu cuma bisa punya anak, tidak mungkin dia memiliki putra dan putri, sebab istrinya itu adalah perempuan biasa dan bukan permaisuri.

Maka saya pikir, orang jahat itu tidak lagi patut dihormati dengan kata-kata metafora yang indah-indah. Sebab tidak tepat makna dalam konteks dan keadaan atau situasi yang berlaku.Kalau penjahat atau koruptor masuk lembaga pemasyarakatan, tak akan pernah jera dia. Soalnya enak di dalam lembaga itu.

Tidak percaya? Lakukanlah korupsi! Lima tahun dalam bui, makan tidur perdeo.

September 2007

I. Umbu Rey

Tidak ada komentar: