Senin, 17 Maret 2008

Dukun, Penasihat Spiritual?

Pada mulanya, DUKUN itu sebenarnya adalah orang yang suka menolong. Dia mempunyai keahlian di bidang pengobatan penyakit tertentu. Sesudah menolong dia tidak pernah minta duit bayaran, bahkan ada DUKUN yang pantang dibayar konon karena keahliannya bisa hilang. Itu semacam perjanjian tidak tertulis dari pewaris keahliannya itu.

KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) pada halaman 279 memberi arti pada kata DUKUN sebagai orang yang mengobati, menolong orang sakit, memberi jampi-jampi (mantra, guna-guna, dsb). Dengan begitu, DUKUN dapat berarti positif (baik karena suka menolong) dapat pula berarti negatif (jelek, bisa menghancurkan dengan jampi-jampi atau guna-guna).

Di kampung saya, dukun yang ahli dalam pengobatan patah tulang atau macam-macam penyakit yang mematikan sangat dihormati dan dihargai bukan dengan duit. Biasanya jika di rumah sakit umum kabupaten tidak ada dokter ahli bedah tulang maka DUKUN menjadi juru selamat, dan itu biasanya terbukti. Begitu juga dukun beranak selalu menolong ibu yang melahirkan tanpa pamrih.

Ibu saya pernah jatuh, dan karena sudah terlampau tua tulangnya retak dan engsel paha keluar dari piringannya di pinggul. Dokter umum menyerah karena tidak dapat berbuat apa-apa. Dia hanya menyarankan agar ibu saya dibawa ke rumah sakit di Jawa atau di Kupang karena di sana ada dokter ahli bedah tulang.

Apa lacur, uang tidak ada sementara penderitaan ibu semakin menjadi-jadi. Setelah satu minggu dirawat di rumah sakit saya terpaksa membawanya pulang ke rumah. Satu-satunya jalan, DUKUN pun dipanggil. Hanya dengan urutan tidak lebih dari selama sepuluh menit tulang sudah kembali normal dan tiga hari kemudian ibu saya sudah dapat berjalan kembali. Tidak ada duit yang keluar untuk ongkos sebab si dukun pun tak mau dibayar.

DUKUN beranak/bersalin juga begitu. Pertolongan DUKUN biasanya dilakukan dengan tulus ikhlas bagi siapa saja yang memerlukan, dan maut hanya bisa menjemput nyawa ketika ajal memanggil. Tidak ada sanksi hukum dan tidak ada tuntut-menuntut.

Di Pulau Palue, sebelah utara Kabupaten Sikka, Flores, hiduplah seorang DUKUN. Namanya Dami. Para dokter ahli di Kupang cuma bisa geleng-geleng kepala ketika Dami mengiris-iris lalu membuka dada pasiennya hanya dengan sebilah pisau kecil. Jantung pasiennya diaduk-aduk di depan mata banyak orang lalu dimasukkannya kembali ke tempatnya semula. Pasiennya tenang-tenang saja tanpa sedikit pun merasa sakit. Dadanya yang luka ditutup kembali dengan kapas, dan sesudah itu penyakit jantungnya pun lenyap, dan tentu saja pasiennya sehat sampai sekarang.

Kali lain, dengan pisau kecilnya itu Dami mencungkil mata pasiennya yang menderita katarak. Bola atau kornea mata pasiennya itu dia lepaskan dari kelopaknya dan diaduk-aduknya di dalam gelas berisi air putih. "Supaya bersih lagi," katanya.

Setelah itu, bola mata itu dimasukkan kembali ke tempatnya, lalu ditutup dengan kapas. Beberapa jam kemudian kapas dibuka dan pasien pun dapat kembali melihat secara normal. Anehnya, tak ada bekas luka pisau, atau pitak setelah sembuh.

Seorang wartawan harian Pos Kupang di NTT pernah pula dia bedah untuk menyembuhkan penyakit asma. Pernahkah Anda mendengar seorang dokter ahli membedah leher pasien yang menderita penyakit asma? Bahkan penyakit itu pun sampai kini, konon, tidak ada obatnya. Tetapi dukun Dami mengiris-iris leher wartawan itu dengan pisau kecilnya dan memotong daging di lehernya sampai berdarah-darah. Luka pasien ditutupnya dengan kapas hingga sembuh hanya dalam beberapa jam. Tidak ada bekas luka bedah, dan kenyataannya, wartawan itu sampai kini tidak pernah lagi menderita penyakit asma.

Keahlian DUKUN itu pernah diperagakannya di layar kaya TV-7 beberapa tahun yang lalu, ketika dia menusuk atau menoreh perut pasiennya tanpa sedikitpun terasa sakit, sedangkan darah kelihatan mengucur dari tubuh orang yang ditusuk dengan pisau itu. Ajaib? Dami sendiri mengatakan itu bukan ajaib, bukan pula sihir sebab dia penganut Katolik yang percaya pada Tuhan. Tak sepeser pun dia minta uang dari pasiennya sebagai bayaran.

Tetapi ketika zaman sudah modern, banyak orang hidup terjepit di tengah-tengah impitan krisis ekonomi. Orang lalu berurusan dengan dukun untuk minta petunjuk. Dukun yang seperti ini mengaku dapat menyelamatkan orang dari kesulitan tetapi dengan imbalan jutaan rupiah.

Kalau mau punya istri banyak dan cantik-cantik, bergegas-gegaslah ke DUKUN dan kalau sang istri cemburu karena tidak mau dimadu, DUKUN pun bisa mengatasi persoalan. Namanya DUKUN santet. Berapa duit dikeluarkan pasien, jutaan rupiah sudalah pasti. Hasilnya, rusak juga.

Lalu, Mama Lorent itu siapa, Ki Joko Bodo itu siapa? Di kampung saya, orang menyebutnya DUKUN juga. Namanya DUKUN ramal. Di Jakarta orang menyebutnya PARANORMAL yang keahliannya tentu saja beda dari PARAMEDIS.

Di samping itu ada Ki Gendeng Pamungkas. Yang satu ini mungkin masuk kategori tukang ramal, tetapi kerjanya "menyantet" juga asal dibayar. Tujuannya apa, tidak lain supaya rusak. Presiden George Bush dari Amerika Serikat pun dia santet supaya rusak acara pertemuan kepala negara di Bogor.

Peri bahasa berkata, "Dahulu parang sekarang besi, dahulu sayang sekarang benci". Mungkin itu dapat dikiaskan kepada pekerjaan DUKUN yang awalnya baik dan disayang tetapi sekarang sudah bisa digunakan untuk mencari uang dan membunuh orang.

Entah mengapa, Republik BBM (Benar-Benar Mabuk) di layar Metro TV mengangkat profesi DUKUN dan PARANORMAL itu dan mengubahnya supaya berkesan baik dan agung. Orang itu menjalankan tugasnya sebagai pembantu Presiden SBY (Si Butet Yogya).

Kalau diminta nasihatnya, dia selalu berkata, "Menurut penerawangan saya.....dst!" Hebatnya, hanya dengan kata "penerawangan" istilah DUKUN berubah menjadi PENASIHAT SPIRITUAL Hasilnya, rusak juga, sebab tidak ada yang benar. Orang cuma bisa terkekeh-kekeh dibuatnya.

Umbu Rey

Debat

DEBAT bersinonim dengan "diskusi, dan kontes" yang semuanya kita serap dari bahasa Inggris, debate, discussion, dan contest. Cuma masalahnya, pengggunaan kata DEBAT dalam bahasa Indonesia seringkali tidak lagi sesuai dengan makna aslinya dalam bahasa Inggris.

Kamus The American Heritage Dictionary of the English Language menyebutkan bahwa "debate" adalah "a formal contest ini which two opposing teams defend and attack a given proposition".

Saya menarik sebuah pengertian dari kamus itu, bahwa dalam DEBAT mesti ada dua tim yang saling menyerang dan atau mempertahankan sebuah masalah yang dikemukakan. Maka itu, DEBAT biasanya akan menjadi semacam adu argumentasi, adu pikiran, adu mulut, silat lidah atau untuk mempertahankan atau menolak suatu dalil sehingga menjadi ribut.

Dalam Tesaurus Bahasa Indonesia bikinan Eko Endarmoko cetakan kedua tahun 2007, kata DEBAT jika bisa berarti BERBANTAH(an) dan dapat juga berarti BERTENGKAR mulut.

Berbantahan dan bertengkar mulut dalam sebuah kontes pemilihan presiden di Amerika Serikat adalah hal wajar, seperti bisa kita lihat dalam pertarungan menuju Gedung Putih. Satu kandidat menyerang yang lain dan yang lain menjatuhkan lawannya dengan argumentasi yang mungkin menyakitkan hati lawannya. Itu dilakukan untuk meyakinkan para masyarakat umum agar bisa menentukan siapa sebenarnya yang layak atau yang paling berhak menjadi presiden.

DEBAT yang lazim dilakukan di negara demokrasi seperti Amerika Serikat itu agaknya masih belum bisa diterapkan di Indonesia, mungkin karena padanan kata itu enggan kita sebut sebagai PERTENGKARAN atau BERBANTAHAN. Atau mungkin juga karena budaya kita atau daya nalar dan kedewasaan kita belum lagi setimpal dengan negara adikuasa itu.

Maka yang terjadi di DKI Jakarta ketika calon gubernur Adang Daradjatun dan Fauzi Bowo naik pentas pada hari Sabtu malam 4 Agustus 2007 sebenarnya bukanlah DEBAT. Mereka naik panggung dan masing-masing menjawab satu pertanyaan yang dikemukakan oleh empat panelis dalam batas waktu dua menit.

Ajang kampanye yang dilakukan oleh dua calon gubernur itu jelas bukan DISKUSI, bukan pula KONTES dan karena itu bukan pula DEBAT. Tidak ada pertengkaran dan perbantahan, tidak ada adu argumentasi dan tentu saja tidak ada keributan. Yang justru menjadikan suasana tempat kampanye itu ramai adalah karena pendukungnya yang ribut bertempik sorak. Tak jelas pula apa yang disorak-sorakkan.

Lalu, apakah ajang kampanye itu DEBAT atau DISKUSI, ataukah KONTES? Pada hemat saya, semuanya tidak pas. Saya lebih suka menyebut itu adalah CERDAS CERMAT TINGKAT SLTP SE-DKI JAYA.

Jawaban terhadap pertanyaan panelis tidak realistis, sebab para panelis juga tidak mengajukan suatu masalah yang boleh diperdebatkan oleh kedua calon gubernur. Mungkin Adang sedikit lebih baik ketika dia berjanji akan memberikan jaminan kesehatan gratis bagi kaum miskin dan sekolah gratis dari tingkat SD hingga SMA di DKI Jakarta.

Tetapi, ketika tim Fauzi Bowo menjawab pertanyaan panelis tentang pemberantasan korupsi, calon wakil gubernur Prijanto justru melibatkan pengawasan tuhan. Saya langsung tertawa terpingkal-pingkal, sebab itu jawaban sangat konyol.

Kita semua tentu tahu bahwa pada kenyataannya tuhan tidak pernah berhasil memberantas korupsi di Indonesia, atau mungkin juga tuhan sengaja membiarkan umatnya di Indonesia untuk bebas korupsi. Mohon, maaf, di Indonesia tuhan itu nyaris gagal total dalam misi penyelamatan moral manusia.

Agama memang ada, ayat-ayatnya yang (suci) dikumandangkan dengan fasih oleh umatnya, tetapi korupsi toh tetap unggul, merajalela di mana-mana. "Time is money, ... tuhan adalah uang". Karena itu psikolog Dr Sarlito Wirawan menciptakan pelesetan STMJ (Sembahyang Tekun Maksiat Jalan).

Ini baru masalah yang perlu diperdebatkan dan dipertengkarkan. Jadi, Anda mau membantah atau mau bertengkar? Silakan.

Umbu Rey

Bau

Ada kecenderungan orang-orang akan menghindar, atau paling tidak, menutup hidungnya dengan kedua telapak tangan kalau menyebut BAU. Ini kata nyaris senantiasa dihubungkan dengan sesuatu yang tidak sedap dan busuk.

Jikalau BAU itu dihubungkan dengan "politik" maka politik itu akan dianggap busuk. "Akh, bicaranya berbau politik," begitu kata orang-orang sebab politik dianggap kotor. Maka politikus itu pun ikut menjadi busuk kalau dia main curang. Karena itu orang bilang "politisi busuk".

Bau kentut mana pula ada yang wangi. Apalagi kalau yang empunya kentut itu punya kebiasan suka makan petai atau jengkol. Saya heran, kenapa buah petai dan jengkol itu selalu dihubungkan dengan bau. Padahal, makan apa saja, kalau ampasnya keluar lewat dubur atau anus pastilah bau.

Bau kentut sangat menyengat hidung kalau keluar dari sumbernya seperti angin berembus sepoi-sepoi bahasa. Bunyinya nyaris tidak terdengar tetapi akibatnya bisa lebih dahsyat daripada kutu busuk. Orang flu paling-paling cuma bersin, tetapi kentut yang bunyinya seperti angin keluar dari ban kempis bisa bikin orang sekamar berteriak-teriak. Soalnya, aromanya menjalar-jalar selalu kian kemari.

Orang yang tidak berpengalaman itu dihubungkan dengan kencur, sebab orang yang disebut bau kecur itu artinya masih anak-anak, atau belum banyak pengalamannya. BAU bunga selalu harum semerbak, tetapi BAU duren atau durian mungkin sedap mungkin juga busuk, tergantung ke hidung siapa bau itu merebak.

Sebenarnya, yang disebut BAU itu adalah apa saja yang ditangkap oleh indra penciuman (KBBI Edisi ketiga hal 115). Karena itu ada bau yang harum dan ada pula bau yang busuk seperti bangkai, anyir atau apak. Untuk menghilangkan BAU apak, lemari mesti ditaburi dengan kapur barus.

Kata BAU jika mendapat awalan "me" dan akhiran "i", maka memBAUi itu mirip-mirp artinya dengan "mencium" atau "mengendus" menurut istilah Melayu Jakarta. Ibu membaui masakannya di dapur artinya ibu sedang mencium bau harum masakan yang telah dibubuhi bumbu penyedap.

Sekarang ini orang-orang lebih suka omong Inggris untuk menyatakan BAU. Maka itu mereka sebut AROMA sebab senantiasa menyatakan harum. Mungkin juga supaya kedengarannya sopan. Tetapi akibatnya, BAU menjadi tergeser sifatnya dan selalu saja dihubungkan dengan yang busuk-busuk.

Ketiak yang berkeringat dan napas yang tidak segar mungkin akan menyinggung perasaan orang kalau kita sebut BAU, apalagi kalau disertai dengan gerakan tutup hidung. Maka lebih baik kita berkata AROMA yang kurang sedap. Lagi pula, kata orang yang berpengalaman, BAU ketiak atau BAU mulut bisa menurunkan libido lelaki meskipun mangsa di depan mata sudah pasrah seratus persen.

Zaman dulu orang suka menyindir dengan peribahasa "jauh berbau bunga dekat berbau tahi" untuk menggambarkan suasana rumah tangga yang suka ribut atau bertengkar jika sanak keluarga berkumpul, tetapi saling merindukan jika mereka tinggal berjauhan.

Tetapi, saya heran kebingung-bingungan ketika suatu saat saya bertanya kepada seorang teman, "Eh, lu sudah dengar nggak berita Dewi Persik bercerai dari suaminya?" Teman saya itu dengan enteng menjawab," Bau akh. Emang gua pikirin!"

Kata "bau akh" dalam kalimat itu dapat berarti (1) beritanya basi, atau (2) tidak peduli, tidak mau menghiraukan, dan (3) mungkin telinga saya salah tangkap sebab yang dimaksud adalah "Tauk akh. Emang gua pikirin?" Artinya, teman saya cuek saja alias masa bodoh.

Walaupun tulisan atau coretan ini saya sajikan dengan gaya yang kurang sedap atau tidak enak dibaca, sesungguhnya dia tidak akan mengeluarkan BAU busuk. Kalau tidak pecaya "Cium saja komputer di depan hidung Anda."

Umbu Rey

Sabtu, 15 Maret 2008

SALIB

Tanggal 21 Maret tahun 2008 adalah hari JUMAT AGUNG. Itu adalah hari peringatan wafatnya Yesus Kristus di kayu salib. Mengapa harus mati di kayu salib? Itu urusan orang beragama Kristen. Saya tidak tahu. Hari Minggu 23 Maret adalah hari Paskah. Tetapi, dari cerita kitab suci orang Kristen itulah awal mulanya saya mengetahui kata SALIB.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) "salib" adalah dua batang kayu yg bersilang; 2 Kris, kayu bersilang tempat Yesus dihukum orang Yahudi; 3 tanda silang; 4 Kat syarat dng tangan yg menggambarkan tanda silang sbg pengungkapan doa: sebelum berdoa ia membuat tanda -- dng menggerakkan tangan dr dahi ke dada dan dr pangkal lengan kiri ke pangkal lengan kanan;
Me•nya•lib v menghukum mati pd kayu salib (tangan dan kaki orang yg dihukum direntangkan dng dipakukan pd kayu salib): pd zaman dahulu penguasa di Eropa - budak-budaknya yg bersalah;
Me•nya•lib•kan v menyalib;
Pe•nya•lib n orang yg menyalib;

Pada pokoknya SALIB itu adalah kayu yang bersilang. Sebelum itu saya cuma mengenal kayu palang yaitu kayu yang dipasang memalang untuk mengunci pintu dari dalam rumah, Namanya palang pintu. Kayu ini bisa digunakan juga untuk maksud yang lain, yaitu untuk menggebuk suami yang suka pulang larut malam karena keseringan main judi.

Salib sebenarnya kayu palang juga, yaitu kayu yang dipasang bersilang dengan kayu yang tegak lurus, dan sebab itu dua kayu menjadi bersilangan dan disebut “kayu salib”. Itu adalah alat pada zaman Romawi untuk menghukum orang yang dianggap bersalah. Kayu salib itu didirikan di bukit Golgota yang disebut orang tempat tengkorak, dan di situlah Yesus Kristus digantung sampai mati sebab Dia dianggap atau dituduh sebagai orang yang bersalah oleh orang Yahudi.

Di dalam Gereja Kristen pada umumnya, salib itu digambarkan sebagai simbol iman. Kayu yang tegak adalah simbol kasih kepada Tuhan, dan kayu silang mendatar adalah simbol kasih sesama manusia. Itulah hukum utama dan terutama dalam Injil yang disebut hukum cinta kasih. Dalam kedua hukum kasih itulah semua kisah dalam Injil itu digenapkan. Itulah pula sebabnya seorang Kristen yang diangkat sumpahnya selalu harus mengangkat dua jari.

Tetapi dalam agama Katolik, seorang yang mengangkat sumpah biasanya mengangkat tiga jari ke atas, mungkin diambil dari pengertian Trinitas, atau mungkin juga dari Kitab Injil (1 Korintus 13:13) bahwa hanya ada tiga yang utama yaitu Iman, Kasih, dan Pengharapan, dan yang terbesar dari ketiganya itu adalah Kasih.

Organisasi kemanusiaan internasional juga menggunakan simbol tanda salib sebagai lambing pelayanannya. Lambang itu berbentuk salib juga, tetapi orang lazim menyebutnya “palang merah” karena terdiri atas dua palang bersilang berwarna merah. Di Indonesia, disebut Palang Merah Indonesia atau PMI.

Entah sejak kapan, salib meskipun masih dengan pengertian “silang”, dewasa ini sudah dipakai juga di luar Gereja. Dalam percakapan sehari-hari, kata SALIB itu digunakan juga oleh para pengendara atau pengemudi di jalan raya. Tetapi KBBI agaknya mau memisahkan pengertian salib Gereja itu dengan bahasa percakapan. Maka ditulislah kata itu dengan huruf akhir “p” sehingga menjadi SALIP.

SALIP dalam percakapan sehari-hari disebut dalam KBBI adalah sa•lip v cak, me•nya•lip v mendahului (dl perjalanan): tiba-tiba dng kencang ia - kendaraan kami sehingga kendaraannya melaju tidak terkendalikan dan akhirnya terperosok masuk jurang;
ber•sa•lip-sa•lip•an v kejar-mengejar untuk mendahului; dahulu-mendahului; saling mendahului: mereka - terus dl perjalanan.

Pengertian “menyalip” dalam KBBI itu menurut pikiran saya kurang pas meskipun ditulis dengan huruf akhir “p”. Sebenarnya kata salip itu memberikan pengertian memotong jalan dengan menyilang dari kiri atau dari kanan di depan kendaraan orang lain. Tindakan “menyalip” tidak sekadar mendahului (dl perjalanan).

Jikalau ada kendaraan lain “menyalip” atau mendahului kendaraan kami, hampir tidak mungkin kendaraannya melaju tidak terkendalikan dan akhirnya terperosok masuk jurang. Itu hanya bisa terjadi jika sopir dalam keadaan tidak sadarkan diri atau mabuk. Di jalan tol misalnya, kendaraan saling mendahului sudah biasa, tetapi kendaraan yang didahului atau yang mendahului itu tidak pernah terdengar ceritanya terperosok masuk jurang.

Lazimnya kendaraan itu kena celaka jika kendaraan lain “menyalib” atau memotong jalan kendaraan lain dari kiri atau kanan sehingga sopir kendaraan yang disalib atau yang menyalip itu tidak dapat menguasai kemudinya, dan akhirnya (mungkin) terperosok masuk jurang. Peristiwa yang begini ini biasanya tejadi di lintasan balap mobil atau motor.

Bersalip-salipan mungkin mempunyai pengertian kejar-mengejar atau dahulu-mendahului, tetapi haruslah dengan cara menghalangi atau menutup jalan kendaraan lain dengan memotong atau menyilang dari kiri atau dari sisi kanan, tidak sekadar mendahului.

Jadi, bersalip-salipan lebih tepat disebut “zig-zag”, atau berliku-liku atau meliuk-liuk seperti gerak ular yang melata.

Umbu Rey

Sumpah Pemuda

Tanggal 28 Oktober adalah hari Sumpah Pemuda karena pada waktu itu para para pemuda
bersumpah atau mengucapkan sumpah. Mahapatih Gajah Mada di Kerajaan Majapahit juga
bersumpah dan sumpahnya itu adalah Sumpah Palapa.

Jikalau Sumpah Pemuda kita artikan sebagai pemuda yang bersumpah, jangan sekali-kali mengartikan Sumpah Palapa itu adalah Palapa yang bersumpah. Tidak logis. Pemuda adalah orang berusia muda yang dapat mengucapkan sumpah atau janji, sedangkan palapa adalah sejenis buah yang pahit rasanya, dan tidak mungkin dapat mengucapkan sumpah.

Supaya tidak menimbulkan salah pengertian lebih baik kita menyebut Sumpah Gajah Mada saja, karena sumpah itu memang diucapkan oleh beliau. Jadi klop to? Ada Sumpah Pemuda dan ada pula Sumpah Gajah Mada.

Sumpahnya pemuda dan sumpahnya Gajah Mada adalah setia, suci, atau tulus, jujur. Tetapi bukan sumpah pocong. Sebab waktu mengucapkan sumpahnya itu Gajah Mada dan para pemuda tidak dibungkus atau membungkus dirinya dengan kain kafan seperti mayat. Mungkin waktu itu sumpah pocong itu belum dikenal.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi ketiga, "sumpah" adalah (1) pernyataan yang diucapkan secara resmi dengan bersaksi kepada Tuhan atau kepada sesuatu yang dianggap suci, (2) pernyataan disertai tekad melakukan sesuatu untuk menguatkan kebenarannya atau menderita sesuatu kalau pernyataan itu tidak benar, dan (3) janji atau ikrar yang teguh.

Di samping itu "sumpah" juga memiliki arti lain yakni kata-kata yang buruk (caci maki dsb), kutuk dan tulah. Kita mengenal sumpah serapah, sumpah sepata, dan sumpah serampu. Sumpah yang begini ini semata-mata diucapkan kalau orang sedang marah berat karena sakit hati. Maksudnya supaya orang yang disumpah itu kena tulah, atau kalau perlu mati saja sekalian.

Menyumpah atau menyumpahi artinya mengeluarkan kata-kata kotor, atau memaki-maki seseorang, atau mengutuk orang supaya kena tulah, atau kena bencana. Kalau sumpah itu mencapai maksudnya atau terwujud maka sumpah itu sakti. Itulah sumpah yang berlaku dalam dongeng Si Malin Kundang.

Bersumpah-sumpahan adalah saling bersumpah, saling berteguh-teguhan dalam janji,
sedangkan menyumpah-nyumpah dan sumpah-menyumpahi adalah saling mengeluarkan kata-kata keji dan kotor dengan maksud agar lawan kena tulah atau terhina.

"Gue sumpe lu jadi kodok!" begitu kata sumpah gaya anak Betawi. Kalau sumpah itu sakti maka orang yang disumpah akan menjadi kodok.

Sumpah Palapa yang diucapkan oleh Gajah Mada itu bukan sumpah serapah. Itu sumpah sakti juga. Tetapi beliau mengucapkannya dengan berpantang tidak akan menikmati makanan enak sebelum menaklukkan dan mempersatukan Nusantara. Dulu, waktu belajar sejarah Majapahit di SD, yang dimaksudkan dengan makanan enak adalah palapa, yaitu makanan sejenis rebung.

Palapa itu menurut KBBI hanya ada dalam dongeng. Buah yang rasanya sama pahitnya dengan palapa adalah buah maja. Dari nama buah itu terbentuklah Kerajaan Majapahit yang hebat itu.

Kalau buah palapa itu hanya ada dalam dongeng, jangan-jangan Sumpah Palapa itu cuma dongeng doang, sama seperti sumpahnya ibu dari Si Malin Kundang. Soalnya, silsilah Mahapatih Gajah Mada sampai sekarang tidak pernah dijelaskan. Bahkan kuburnya pun entah di mana. Patung atau arca yang diserupakan dengan Gajah Mada sekarang ini, konon, tidak mirip orang Jawa. Raut wajah patung itu hampir sama dengan orang Papua atau Negro.

Tetapi, sejarah telah menggoreskan kisah bahwa Mahapatih Gajah Mada itu memang
pernah bersumpah.

Lalu, seperti apa rupanya buah maja itu? Saya belum tahu. KBBI menjelaskan bahwa buah maja itu berasa pahit, bentuknya bulat atau agak lonjong, dagingnya berwarna jingga, dan dapat digunakan sebagai obat diare, kolera, dan disentri. Mungkin ada dijual di Pasar Minggu.

Kalau buah maja itu memang ada, mengapa sumpah Gajah Mada itu tidak disebut Sumpah Maja. Akh, kalau disebut begitu pastilah sumpah palsu. Tetapi ini cuma pengandaian saja. Sejarah Indonesia telah tertulis di atas buku bahwa sumpah itu disebut Sumpah Palapa.

Pada tahun 1977, Pak Harto (presiden RI kedua) mengambil nama Palapa itu untuk menyebut satelit Indonesia yang mengorbit di angkasa. Satelit itu harus diluncurkan ke angkasa supaya wilayah Indonesia dapat lebih erat dipersatukan dengan sistem telekomunikasi yang canggih.

Lain Gajah Mada lain pula Pak Harto. Patih Gajah Mada bersumpah pantang makan enak sebelum Nusantara dipersatukan, tetapi Pak Harto sesudah bersumpah di depan sidang Majelis Permusyawartan Rakyat, sibuk mengumpulkan harta selama berkuasa 32 tahun lamanya. Anak-dan cucunya bahkan dapat berfoya-foya sambil poligami. Enak benar hidup ini bagi mereka. Mau usut kekayaannya? Saya rasa itu pekerjaan sia-sia. Mungkin sekali Pak Harto sudah bersumpah juga kepada Ibu Tien dan pengacaranya, "Jangan bilang-bilang ya, dari mana saya dapat harta kekayaan ini. Bilang saja kepada rakyat bahwa saya tak punya uang satu sen pun."

Sumpahnya pemuda pada 28 Oktober 1928 itu sumpah apa? Itu bukan sumpah palsu, bukan pula sumpah serapah, walaupun para pemuda ketika itu mengucapkannya begitu saja tanpa berpantang seperti Gajah Mada. Apakah sumpah itu resmi?

Sumpah yang resmi itu misalnya diucapkan sepasang pengantin di hadapan pendeta, pastor atau penghulu. Pendeta atau pastor mengucapkan sumpah atau janji di depan altar gereja dan diikuti oleh kedua mempelai dan disaksikan oleh umat yang lain. Begitu juga sumpah seseorang yang menjadi saksi di Pengadilan Negeri, atau sumpah ketika seorang dilantik menjadi pejabat negara.

Mungkin itu sebabnya maka bersumpah sama artinya dengan "mengangkat sumpah". Sebab pernyataan sumpah itu diucapkan dulu oleh pastor atau penghulu kemudian diikuti oleh kedua mempelai. Jadi, ada pihak yang mengangkat sumpah dan ada pihak yang mengambil sumpah.

Sekarang ini, orang yang mengangkat sumpah tentu saja tidak perlu berpantang seperti Gajah Mada, sebab perkawinan itu memang tujuannya untuk menikmati sesuatu yang enak-enak siang dan malam, baik dalam suka dan duka.

Bayangkan, kalau setelah mengucapkan sumpah kedua mempelai berpantang tidak akan
bersetubuh sebelum mengusai rumah mertua dan perabotannya, atau sebelum mertua meninggal dunia. Mana tahan? Malah sebelum mengangkat sumpah, ritual persetubuhan justru sudah lebih dulu diselenggarakan dengan cara yang seksama. Pantang ditunda. Mosok setelah bersumpah
mempelai lelaki cuma membelai-belai dan mengelus-elus atau paling pol mengendus-endus tubuh sang istri. Akh, tidak mungkin itu.

Sumpah Pemuda itu sama saja dengan Sumpah Palapa. Tidak disebutkan dalam sejarah bahwa mereka bersumpah dengan bersaksi kepada Tuhan. Cuma disebutkan: Kami pemuda dan pemudi Indonesia mengaku bertanah air satu, berbangsa satu, dan menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia.

Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 adalah sebuah tekad atau kebulatan hati yang kini nyatanya sudah terwujud. Begitu diucapkan dan begitulah tekad itu dijalankan. Para pemuda dan pemudi mengucapkan sesuatu sumpah dengan jujur, dan melakukannya tanpa pamrih. Lantas
semuanya terjadi seperti yang berlaku sekarang ini.

Sumpah pemuda zaman saiki mesti diucapkan dengan menyebut "demi Allah saya bersumpah", disaksikan oleh pendeta atau ustaz/penghulu yang mengangkat kitab suci sampai ke atas kepala. Sumpah yang begini tempaknya resmi tetapi kenyataannya palsu belaka. Boro-boro
berpantang tidak akan menerima sesuatu dari siapa pun juga, habis bersumpah langsung tanda tangan Memoradum of Understanding atau MoU, yang dalam terjemahan bebas dapat juga berarti Tahu Sama Tahu atau TST.

"Tuan boleh kerja ini proyek tetapi mesti kasih saya sepuluh persen dari setiap keuntungan. Nilai proyek digelembungkan dulu. Mark-up gitu lho!" Demikianlah kebiasaan orang setelah bersumpah. Maka itu Obie Messakh melantunkan lagu "cengeng" pada awal tahu 1980-an, tentang suami yang melanggar sumpah: "Dulu bersumpah janji di depan saksi/dulu segenggam emas kau pinang aku/kini semua tinggal cerita hati yang luka".

Sumpah yang sekarang ini, siapa pun yang mengucapkannya, patutlah diragukan kebenaranya. Karena itu anak-anak muda atau pemuda dan remaja dewasa ini sudah enggan mengucapkan sumpah. Mereka lebih suka bilang dalam bahasa Inggris "swear". Kesepakatan apa saja yang mau mereka laksanakan pastilah didahului dengan ucapan "swear" sambil mengacungkan dua jari, supaya jangan dikira palsu.

Kata Inggris itu diserap saja dan disesuaikan dengan bibir mereka, "suer". Karena itu, setiap kali ada pelantikan pejabat di departemen lebih baik kita mengucapkan: "Demi Allah saya suer!" Perkara itu dipatuhi atau tidak, soal lain. Pokoknya suer sajalah.

28 Oktober 2007

Umbu Rey

Jumat, 14 Maret 2008

Gemetar melawan GemeNtar

Keponakan saya suatu ketika bertanya, manakah yang benar: GEMENTAR atau GEMETAR? Dengan sigap saya menjawab bahwa kedua kata itu semuanya benar bergantung pada konteks kalimatnya.

Tetapi, KBBI edisi ketiga membuat saya kecewa lantaran GEMENTAR itu rupa-rupanya sudah tidak lagi digunakan. KBBI menganjurkan kita untuk menggunakan kata GEMETAR saja tanpa "N" (halaman 351, gemeNtar-->gemetar). Jadi yang benar adalah GEMETAR dan diberi arti bergetar anggota badan karena ketakutan (kedinginan dsb), menggigil karena ketakutan dsb.

Anjuran KBBI ini seakan-akan telah menyatakan bahwa kata GEMENTAR itu memang tidak ada atau tidak berlaku lagi. Apa alasannya saya tidak tahu sebab kamus itu tidak menerangkan mengapa GEMENTAR tidak lagi digunakan.

Waktu saya Sekolah Dasar di kampung, guru saya berkata bahwa GEMENTAR itu terbetuk dari kata dasar GENTAR yang mendapat sisipan EM. Sisipan EM pada kata dasar GENTAR itu memberi arti "sangat takut".

Perasaan takut yang amat sangat mungkin sekali membuat orang pingsan atau semaput dan tidak sadarkan diri. Orang yang GEMENTAR karena ketakutan mungkin sekali akan terkencing- kencing atau mengeluarkan keringat dingin dan bulu kuduknya berdiri. Orang yang sangat takut tidak pernah menggigil (kedinginan).

Kata GENTAR sekarang ini sangat jarang atau bahkan tidak lagi digunakan orang dalam percakapan sehari-hari. Kata itu hanya dapat kita dengar dalam syair lagu (mars) yang wajib dinyanyikan pada peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus setiap tahun. Kita tentu hafal lagu "Maju Tak GENTAR Membela Yang Benar". Tetapi, saya belum pernah mendengar lagu wajib "Maju Tak GETAR Membela Yang Benar".

GETAR adalah gerak berulang-ulang dengan cepat seperti tali biola atau gitar karena mendapat sentuhan. Kata GETAR yang mendapat sisipan EM sehingga menjadi GEMETAR menyiratkan arti "sangat banyak" getarnya.

Orang yang GEMETAR bisa dilihat dari badannya yang bergetar-getar dan menggigil-gigil sampai giginya pun gemeletak seperti bunyi gigi yang beradu, atau karena dingin yang menusuk tulang. Badan yang GEMETAR itu tidak ada hubungannya dengan rasa takut seperti yang diterangkan oleh KBBI.

Anehnya, KBBI yang suci ini telah mengartikan GENTAR itu sama saja dengan GETAR yakni gerak yang berulang-ulang yang cepat sekali. Kedua kata ini pun sama juga dikaitkan dengan rasa takut dan gelisah. Jadi tidak ada bedanya.

Saya lalu bertanya-tanya pada diri saya sendiri, guru sayakah yang salah sehingga saya menjadi keliru, atau KBBI ini memang salah merekam pengertian keliru yang diucapkan orang saban hari?

Mudah-mudahan saya memang keliru. Tetapi jika saya benar, maka sia-sialah langkah Pusat Bahasa dalam membuat kamus besar yang bisa menjadi acuan bagi semua orang, terutama bagi para wartawan dalam memperkaya kosa-kata bahasa Indonesia.

Saya juga pernah menulis dalam milis ini mengenai MUSYAWARAT yang tidak lagi diberi arti dalam KBBI sedangkan kalimat pada butir keempat Pancasila masih menggunakan kata itu. Demikian juga kata SYARIAH yang tidak lagi dianjurkan pemakaiannya. KBBI (edisi ketiga hal 1115) hanya memberi arti pada kata SYARIAT padahal kedua kata itu ramai digunakan secara bergantian saat ini.

Umbu Rey

Rabu, 12 Maret 2008

Menangis

Menangis itu kata dasarnya adalah "tangis", masuk jenis kata benda atau nomina. Menangis akhir-akhir ini menjadi bahan pembicaraan umum lantaran yang menangis itu bukan orang biasa. SBY, presiden RI menangis ketika mengunjungi korban Lusi atawa Lumpur Sidoarjo di Jawa Timur.

Waktu seorang jaksa tertangkap tangan membawa uang yang diduga hasil korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia atau BLBI senilai lebih dari enam miliar rupiah, Jaksa Agung Hendarman Supanji juga menangis. Rupanya dia harus ikut-ikutan SBY. Maklum Jaksa Agung itu anak buah Presiden, jadi harus kompak menangis.

Benarkah SBY menangis? Belum tentu. Saya tidak terlalu yakin dia menangis.

Menurut KBBI, menangis itu adalah kata kerja atau verba. Artinya, melahirkan perasaan sedih (kecewa, menyesal, dsb) dengan mencucurkan air mata dan mengeluarkan suara (tersedu-sedu atau menjerit-jerit).

Karena itu, SBY baru dapat disebut "menangis" jika terpenuhi tiga unsur. Pertama, SBY menyesal (kecewa, atau menyesal). Kedua, SBY mencucurkan air mata. Ketiga, SBY mengeluarkan suara tersedu-sedu atau menjerit-jerit.

Jika ketiga unsur itu tidak terpenuhi secara simultan atau serentak, maka Presiden SBY belum dapat disebut "menangis". Dengan perkataan lain, jika hanya air mata saja yang keluar, atau hanya ada suara yang terdengar maka itu bukan menangis namanya.

Sekarang kita simak satu demi satu ketiga unsur itu di wajah Presiden SBY:

1). Presiden SBY melahirkan perasaan sedih (karena kecewa atau menyesal). Benarkah begitu? Saya kira tidak, sebab dari mana kita tahu SBY sedang bersedih? Lah, wong wajahnya SBY itu sedih atau senang sama saja. Air muka SBY memang seperti orang susah sejak dulu walaupun kelihatannya tegar dan agak tembam juga karena makmur. Buktinya, ketika 200 ribu orang Aceh tewas atau hilang, wajah SBY begitu juga.

2). Presiden SBY mencucurkan air mata. Tampaknya betul, tetapi apakah karena dia kecewa atau menyesal? Saya kira tidak juga. Buktinya ketika 5000 orang tewas karena gempa bumi di Yogyakarta, SBY tidak mencucurkan air mata. Orang yang mencucurkan air mata itu belum tentu karena dia sedang susah. Orang yang sedang gembira juga bisa mengeluarkan air mata. Saya sendiri kalau keseringan memelototi layar komputer ini juga mengeluarkan air mata, karena perih.

Nah, menurut saya, air mata yang bercucuran di di wajah Presiden SBY itu bukan karena dia sedih atau menyesal. Orang salah duga. Mungkin sekali air mata itu keluar karena dia "kelilipan" sebab matanya kemasukan lumpur.

3). Presiden SBY mengeluarkan suara tersedu-sedu atau menjerit-menjerit? Juga tidak, karena memang tidak terdengar. Tidak selamanya orang yang mengeluarkan suara itu disebut menangis. Di kantor saya, ada orang yang mempunyai kebiasaan mengeluarkan suara menjerit-jerit juga. Kita kira dia menangis, padahal dia sedang tertawa.

Jadi, jikalau Presiden SBY tidak mengeluarkan suara menjerit-jerit atau tersedu-sedu, maka itu artinya dia tidak menangis. Apalagi, kalau SBY menjerit-jerit tetapi tidak mencucurkan air mata, itu artinya SBY sedang main sinetron. SBY mungkin sedang "akting" memainkan peran orang susah.

Waktu terjadi tsunami di Aceh, dan gempa hebat di Yogyakarta, SBY sama sekali tidak menjerit-jerit, tidak mencucurkan air mata, dan tidak kelihatan dia menyesal atau kecewa sebab potongan wajahnya memang sudah begitu.

Kalau Anda sekalian setuju bahwa SBY memang menangis, saya justru bertanya-taanya, mengapa di Aceh dan di Yogyakarta dia tidak menangis? Mengapa orang menangis kok pilih-pilih tempat? Kalau ada korban sesama Jawa Timur, baru dia menangis. Itu namanya menangis diskriminatif. Padahal zaman saiki adalah zamannya demokrasi. Jadi, menangis pun harus demokratis, tidak pilih-pilih tempat. Yang berlinang di wajah SBY itu air mata Suroboyokah atau Pacitankah?

Akh, SBY....SBY...! Jangan-jangan kalau negeri saya suatu saat kelak tertimpa bencana dan semua penuduknya tenggelam ditelan bumi, kau malah tertawa terbahak-bahak.

Umbu Rey

Halia

Ini apa? Halia. Siapa yang kenal halia? Saya kira tidak banyak. Susahnya memang kalau penutur bahasa sudah dikuasai mayoritas, maka nyaris semua kata pun datang dari yang mayoritas itu. Susahnya lagi, kalau yang minoritas itu tak kreatif melahirkan produk maka tenggelamlah kata-kata miliknya ditelan yang mayoritas.

Contohnya ya ini, halia. Tak ada yang tahu nama itu di tanah Jawa ini. Semua orang pasti bilang "jahe" gara-gara jamu buatan Jawa, STMJ. Orang Jawa tak mengenal "halia" maka itu jamu tolak angin itu tak pernah disebut Susu Telor Madu Halia atau STMH.

Halia itu nama asli Melayu. Orang atau suku Melayu sebenarnya sudah memberikan andil sangat besar bagi kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia lewat bahasa. Jumlah mereka pun belum lagi terbilang juta ketika bahasa Melayu diresmikan menjadi Bahasa Indonesia pada Oktober tahun 1928.

Anehnya, KBBI tak menerangkan apa itu halia menurut ucapan Melayu. Dia cuma bilang jahe. Pada lema "jahe" barulah kamus besar itu menjelaskan artinya, yakni "tumbuhan berakar tunggang (umbinya pedas rasanya, dipakai sebagai aromatik, bumbu dapur, atau obat). Mengapa tidak pada lema "halia" penjelasan itu diberikan? Padahal menurut urutan abjad, huruf "h" itu lebih dahulu dari "j".

Akibatnya, orang Jawa tak mengenal halia dan orang luar Jawa pun tak mengenal jahe. Di negeri saya, orang sama sekali tak mengenal jahe. Saya pernah mendatangi hampir semua pelosok Nusantara, dan saya dapati orang-orang Indonesia luar Jawa ternyata tidak mengenal jahe.

Ketika suatu saat saya ke Bukit Tinggi di Sumatera Barat, saya pergi ke Pasar Bukit mencari jahe untuk mengobati tenggorokan saya karena sering serak berdahak kena cuaca dingin.

Di sebuah kedai, saya bertanya kepada seorang ibu pedagang.
"Ibu, saya mau beli jahe," begitu saya bertanya.
Ibu pedagang itu melongo tak mengerti, tetapi dia balik bertanya, "Apa itu jahe?"
Ketika saya menunjuk benda yang akan saya beli, ibu pedagang itu lalu menjawab, "O, itu bukan jahe. Itu halia namanya!"
Ha, giliran saya yang melongo. Rupanya ibu itu tak mengenal jahe.

Halia dikenal di luar pula Jawa, tetapi tidak populer lantaran cuma dibikin sambal atau bumbu masak. Di tanah Jawa orang saban hari mengucapkan "jahe" sebab jutaan orang minum jamu yang dibuat dari tumbuhan itu setiap hari. Jadi tidak sekadar bumbu masak.

Seringkali saya merenung dan berkata dalam hati, "Halia...halia, nasibmu, Nak. Apes, tak sebagus Jahe. Padahal sama-sama pedas."

Umbu Rey

MusyawarAT --> MusyawarAH

Sungguh! Ini masalah bikin saya menderita. Soalnya, saya tidak mengenal bahasa Arab sepatah pun. Satu-satunya buku yang dapat saya jadikan rujukan untuk mengenal kata serapan dari bahasa Arab adalah KBBI. Tetapi ini buku malah tambah bikin pening saya punya kepala lantaran tidak menerangkan kata serapan itu secara etimologis. Apa kata orang, begitulah pula dia mencatat.

Dulu, saya hanya mengenal kata "musyawarat" dan "hikmat". Itu kata diserap dari bahasa Arab. Waktu belajar "civic" di kampung dulu, Pak Guru bilang bahwa lembaga tertinggi negara Indonesia adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat, dan disingkat MPR.

Begitu juga sila keempat Pancasila adalah "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan".

Kata-kata dari bahasa Arab yang belakangnya pada umumnya berbunyi "ah" biasanya kita serap dalam bahasa Indonesia menjadi "at". Contohnya, afiyah --> afiat; aurah --> aurat; darurah --> darurat; daulah--->daulat; dahsyah --> dahsyat; hadrah --> hadirat; harkah --> harkat; hayah --> hayat; hidayah --> hidayat; hikayah --> hikayat; isyarah --> isyarat; masyarakah --> masyarakat; dan muwafaqah --> mufakat, dst.

Memang, tidak semuanya begitu cara penyerapannya. Mungkin ahli bahasa di Pusat Bahasa dapat menerangkan lebih lanjut karena pengetahuan saya terlalu sedikit. Soalnya, ada kata yang belakangnya "ah" diserap dalam bahasa Indonesia dengan bunyi "ah" yang sama pula.

Saya lalu membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi ketiga. Lema "musyawarat" di halaman 768 tidak lagi diberi arti. Kata musyawarat itu dirujuk dengan tanda panah --> musyawarah. Artinya, kata "musyawarah" itulah yang dianjurkan. Dengan perkataan lain lagi, "musyawarat" tidak lagi berlaku.

Entah kenapa begitu, tidak pula diberi alasan. Tergantung bagaimana orang omong, ya begitulah. Ikut saja. Untunglah saya dapat memaklumi, KBBI itu bukan buku nahu atau tata bahasa.

Kalau begitu, kapan kira-kira Pusat Bahasa akan mengumumkan kepada khalayak ramai (pengguna bahasa) bahwa sila keempat Pancasila itu haruslah berbunyi "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmAH kebijaksanaan dalam permusyawarAHan/perwakilan". Dan, kapan pula MPR itu akan diubah menjadi "Majelis PermusyawarAHan Rakyat"?

Setakat ini, kata-kata Arab yang belakangnya berbunyi "at" itu cenderung diucapkan dengan bunyi "ah" dalam arti/makna --yang lebih kurang-- sama. Contohnya, muslimaAT dan muslimAH, muamalAT dan muamalAH.

Di dunia sinetron kita saksikan juga di layar kaca judul cerita Hidayah, Hikayah yang sama maknanya dengan hidayat dan hikayat. Lantas, kapan dan dalam konteks apakah bunyi "at" itu berubah menjadi "ah"? Itu yang belum saya tahu.

Orang lain yang tidak mengerti bahasa Arab seperti saya ini, lama-lama akan latah juga omong pecAT menjadi pecAH, dan lebAT menajdi lebAH. Padahal, kedua kata itu beda.

Umbu Rey

Selasa, 11 Maret 2008

TERALIS

Kata TERALIS sangat populer di kalangan masayarakat yang menghuni kompleks perumahan, tak ketinggalan juga di perumahan Kampung Cerewet, Bekasi. Sejak dulu, setiap rumah yang dibangun pastilah jendelanya diberi TERALIS.

Anehnya, TERALIS sudah bertahun-tahun menjadi populer. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sampai pada edisi ketiga merekam atau mencatat kata itu, tetapi diberi tanda panah yang merujuk pada kata "tarali". Saya tak mengerti arti kata itu sebab tidak dikenal dalam bahasa Indonesia. Mungkin sekali salah cetak.

Waktu rumah saya dibangun lebih dari 20 tahun yang lalu, tukang bangunan menawarkan kepada saya agar jendela rumah saya diberi TERALIS. Saya mengatakan tidak perlu pakai teralis karena rumah saya bukan penjara. Tukang itu tersenyum tetapi dia tidak mengerti maksud saya.

Sejak dulu saya hanya mengenal TERALI (tanpa huruf S), yakni kata dasar TALI yang mendapat sisipan ER. Artinya, kisi-kisi yang terbuat dari banyak tali (besi). Terali atau kisi-kisi itu pada awalnya memang dipasang hanya pada jendela dan pintu penjara (bui) saja. Di rumah-rumah penduduk tidak biasa ada terali. Paling banyak orang menggunakan kaca atau kain jendela atau langsung dengan daun jendela saja.

Zaman saiki orang-orang jahat bukan cuma ada di penjara. Mereka berkeliaran di permukiman penduduk dan setiap saat mengincar rumah yang kosong. Kalau kita lengah sedikit maka rumah akan habis dijarah maling. Barangkali itu sebabnya maka setiap jendela rumah harus diberi TERALI.

Biasanya, kata-kata dalam bahasa Indonesia cenderung terkena erosi karena penyingkatan kata. Entah kenapa, kata TERALI malah mendapat tambahan satu huruf S sehingga menjadi TERALIS.

TERALI dan TERALIS sama saja maknanya, yakni kisi-kisi, dan sama pula kegunaannya. Meskipun begitu, pada umumnya orang awam tidak mengenal atau tidak biasa mengucapkan kata TERALI.

Jika kedua kata itu (mungkin) dapat berterima, maka yang membedakannya ialah:
(1) TERALI dipasang di jendela penjara, sedangkan TERALIS dipasang di jendela rumah penduduk.
(2) TERALI dipasang supaya orang jahat tidak bisa keluar dari penjara, sedangkan TERALIS dipasang supaya orang jahat tidak bisa masuk ke dalam rumah.

Yang lain dari itu saya tidak tahu!

Umbu Rey

Tidak Dipungut Biaya

TIDAK DIPUNGUT BIAYA. Ini kata sangat kerap diucapkan khalayak ramai baik dalam ujaran maupun dalam tulisan di media massa sebagai kebiasaan tanpa pertimbangan salah dan benar. Lancar kaji karena diulang, pasar jalan karena diturut, maka lancar-lancar saja orang menyebut "tidak dipungut biaya".

Frasa TIDAK DIPUNGUT BIAYA yang dimaksudkan itu setakat ini sama persis artinya dengan gratis, cuma-cuma, perdeo, atau zama dulu disebut percuma.

Tetapi sekarang ini, kata PERCUMA tidak lagi berarti cuma-cuma atau perdeo, sebab orang lebih senang omong keren dalam bahasa "londo" atau Inggris yakni GRATIS. Percuma itu sudah bergeser artinya dan kini telah bermakna "sia-sia atau tidak ada gunanya" (KBBI Edisi ketiga hal 856).

Waktu saya masuk SD di kampung dulu sekali, dan mulai belajar bahasa Indonesia yang benar, kata PERCUMA itu tiada lain dari cuma-cuma, atau perdeo. Waktu itu belum ada GRATIS seperti yang lazim diucapkan arang banyak sekarang ini.

Contoh kata PERCUMA itu dapat kita simak dari bait lagu anak-anak yang saya hapal benar kata demi kata. Dalam lagu itu kata PERCUMA artinya cuma-cuma. Cobalah simak lagu itu dengan cermat:

Naik kereta api tut, tut, tut
Siapa hendak turut
Ke Bandung, Surabaya
Bolehlah naik dengan PERCUMA
Ayo kawanku lekas naik
Kretaku tak berhenti lama.

Entah iblis mana yang mengendalikan lidah bangsa ini, kata PERCUMA itu tiba-tiba berganti dengan sendirinya menjadi cuma-cuma, lalu berubah lagi menjadi GRATIS. Sekarang ini, kata itu malah berubah lagi menjadi TIDAK DIPUNGUT BIAYA.

Coba perhatikan kalimat yang saya pungut dari koran di bawah ini:

1. Bus yang mengangkut penjual jamu bakul untuk mudik ke kampung halamannya itu tidak dipungut biaya.

2. Para penjual jamu (kebanyakan perempuan muda) yang menumpang bus untuk mudik ke kampung halamannya itu tidak dipungut biaya.

Pada kalimat pada butir (1), bus tidak dipungut biaya artinya bus itu gratis. Mungkin maksudnya bus itu boleh ditumpangi oleh penjual jamu dengan percuma. Tetapi kalau kita telusuri dengan cermat, maka bus itu sebenarnya juga tidak dapat dipungut biaya. Sebab, yang mudik ke kampung itu bukan bus.

Bus adalah alat atau sarana pengangkut, dan karena itu tidak masuk akal jika alat itu dipungut biaya. Siapakah yang memungut biaya? Bandingkan dengan lagu KERETA API di atas. Yang naik dengan percuma (gratis, cuma-cuma) itu bukanlah kereta api, tetapi "siapa yang hendak turut" atau penumpang.

Kalimat pada butir (2) justru membikin saya pusing kepala. Yang dimaksudkan dengan TIDAK DIPUNGUT BIAYA atau gratis atau cuma-cuma atau perdeo itu tentu juga adalah penjual jamu (perempuan). Apakah maksudnya itu?

Apakah kalau kita "pakai" penjual jamu (perempuan) itu boleh dengan cuma-cuma atau tidak usah membayar? Itulah yang membikin saya heran. Kalau benar bahwa perempuan penjual jamu itu gratis, tentu saja saya mau juga. Mumpung gratis, karena tidak dipungut biaya.

Jadi, lebih baik pembicaraan ini saya sudahi saja sebab mungkin saya salah tafsir. Yang dimaksudkan dalam kalimat (2) di atas adalah bahwa penjual jamu itu boleh pulang ke kampung halaman, naik bus dengan percuma atau perdeo, atau gratis, atau tidak dipungut biaya.

Umbu Rey

The Loser

Kata Inggris yang satu ini --"the loser"-- tidak akrab dalam bahasa Indonesia karena tidak pernah disebut-sebut. Yang sangat kerap kita ucapkan (kalau lagi sok nginggris) adalah kata "the winner".

"The winner" kita artikan dalam bahasa Indonesia adalah "orang yang menang" dan supaya gampang kita sebut saja PEMENANG. Sebaliknya "the loser" dalam kamus John Echols dan Hassan Shadily diartikan dalam bahasa Indonesia sebagai "orang yang kalah". Tetapi kata itu tidak pernah digunakan sebagai lawan kata "the winner".

"Orang yang kalah" tidak dapat seenaknya kita sebut PENGALAH sebab tidak berterima. Orang tidak lazim menyebut kata itu dan lantaran itu pula maka KBBI edisi ketiga pun tidak mencatat kata PENGALAH. Jikalau PEMENANG kita artikan sebagai "orang yang memenangi/memenangkan", dapatkah PENGALAH itu berarti "orang yang mengalahi/mengalahkan".

Kalau demikian halnya, maka PEMENANG itu sama kedudukannya (posisinya) dengan PENGALAH. Sebab, orang yang mengalahkan (pengalah) dan orang yang memenangi atau memenangi-/kan (pemenang) adalah pihak yang sama-sama juara.

Tetapi, kita tidak lazim berkata "Muhammad Ali adalah PENGALAH" ketika petinju legendaris berjuluk si Mulut Besar itu berhasil mengalahkan George Foreman dalam suatu pertandingan tinju. Tetapi, kalau saya berhasil mengalahkan Djoni Herfan maka lazimnya kita berkata bahwa "saya keluar sebagai PEMENANG".

Jadi "the loser" itu apa? Jikalau kita sebut PENGALAH tentu tidaklah tepat sebab pengalah adalah orang atau pihak yang mengalahkan dan sama kedudukannya dengan pemenang sedangkan "the loser" adalah orang yang dikalahkan.

Teman sekantor saya (di mejasunting olahrga) berkata bahwa "the loser" itu adalah "pecundang" dari kata dasar "cundang". Tetapi saya mengatakan istilah ini pun tidak tepat sebab dalam bahasa Indonesia "pecundang" itu adalah orang yang menipu atau penipu atau orang yang menghasut. Penipu dan penghasut tidak pernah masuk golongan orang yang kalah (the loser).

KBBI Edisi ketiga halaman 224 mengatakan "cundang, mencundangi" artinya mengalahkan (seperti dalam sabung ayam). Tetapi, "pecundang" dalam pengertian "orang yang dikalahkan" (the loser) tidak tercatat dalam kamus besar itu.

Orang yang dikalahkan (biasanya tanpa diduga) disebut KECUNDANG. Ini kata tidak pernah digunakan oleh wartawan olaharga atau diucapkan oleh para pengamat sepakbola. Mungkin karena mereka tidak tahu, lantaran KECUNDANG itu memang tidak pernah dipopulerkan. Atau, jangan-jangan kata ini disama-artikan saja dengan kata KEJEDOT, atau KEBENTUR pintu.

Jikalau kita enggan menggunakan kata KECUNDANG sebagai padanan kata "the loser" dalam arti orang atau pihak yang kalah, apa salahnya kita menggunakan kata PEKALAH.

Kita mengenal kata PENATAR yaitu orang yang menatar dan PETATAR adalah orang yang ditatar (lihat KBBI Edisi ketiga halaman 1149). Karena itu, bolehlah PEKALAH kita artikan sebagai orang yang dikalahkan. Daripada kita sok "nginggris" dan menjiplak mentah-mentah kata "loser" itu. Betul toh?

Umbu Rey

Kamis, 06 Maret 2008

Ho'oh

Di dalam masyarakat ada kebiasaan berbahasa untuk menyatakan sesuatu dengan caranya sendiri dan dipahami di kalangan atau di lingkungan sendiri. Barangkali inilah yang disebut "bahasa selingkung".

Bahasa selingkung itu bukan bahasa daerah yang sama sekali tidak dimengerti oleh penutur lain, tetapi bahasa Indonesia juga. Cuma, jika kita hendak memahaminya, dahi kita mesti dibikin mengkerut dulu karena berpikir keras, untuk menebak apa maksudnya. Sebab, seringkali satu kata yang sudah umum dipakai bisa berubah maknanya dalam konteks yang lain.

Dalam bahasa Indonesia formal, masalah bahasa selingkung itu mesti dihindarkan sebab merusak kaidah dan tata bahasa. Lagi pula, orang pembaca tidak akan mengerti dan kita tidak akan mendapat umpan balik (jawaban). Masalah bahasa selingkung ini pernah dibicarakan dalam diskusi bahasa FBMM di Kantor Berita Antara beberapa tahun silam.

Tetapi, bagi saya, perlu juga ada bahasa model selingkung itu. Setidaknya untuk bacaan sambilan untuk mengisi waktu luang dalam perjalanan atau atau ketika sedang duduk di halte bus atau sedang menunggu KRL ekonomi di stasiun kereta api.

Di dalam KRL ekonomi saya suka membeli koran "orang bawah" (kalau boleh disebut begitu) sekadar untuk mencari hiburan, sambil mengamati kebiasaan orang menyampaikan pesan di kalangannya sendiri. Harganya tidak lebih dari seribu rupiah dan kalau sudah siang bisa turun menjadi lima ratus rupiah saja.

Membaca koran seperti ini tidak perlu disimak dengan serius isi beritanya. Anggap saja peristiwa yang diceritakan memang terjadi, sebab yang diceritakan di situ jangan harap ada di dalam koran serius semisal Kompas atau Koran Tempo.

Oh, maaf. Yang diceritakan di situ adalah melulu masalah artis baik yang tenar atau yang disebut selebritas dan (kebanyakan) artis kampungan penjaja tubuh. Ceritanya tentu saja lebih banyak soal selingkung, selingkuh dan selangkangan, atau masalah orang yang "begituan" dan perkosaan.

Nah, kalau ceritanya sudah sampai ke pasal "persatuan tubuh" orang berlainan jenis maka kita yang membaca seakan-akan dibawa ke hotel jam-jaman atau ke tekape (tempat kejadian perkara) perkosaan yang tidak jelas juga di mana alamat sesungguhnya.

Harap disimak, pada saat itulah jalan cerita digunakan dengan bahasa "selingkung". Kata perempuan atau wanita yang biasa kita mengerti dalam bahasa Indonesia formal, akan berubah menjadi "cewek", tak peduli perempuan itu dewasa atau masih di bawah umur. Pokoknya jenis kelaminnya perempuan pastilah disebut "cewek". Begitu juga yang laki-laki akan disebut "cowok" untuk semua umur. Itu sudah umum diketahui orang ramai.

Berbeda dari kata "cowok" ada sedikit perbedaan pada kata "cewek". Jika seorang perempuan itu sudah berusia renta, dan pekerjaannya berurusan dengan membesarkan alat vital lelaki maka "cewek" itu akan berubah menjadi Mak Erot, siapa pun dia. Padahal, nama aslinya mungkin Sri Hartuti, atau Muliani. Persis istilah pedagang satai di Jalan Blora. Hampir pasti semuanya disebut Pak Kumis meskipun dia tidak berkumis.

Mak Erot kalau sudah menyelesaikan pekerjaannya, maka jaminannya akan disebut "maknyus". Yang "maknyus" itu pastilah berhubungan dengan "goyang". Istilah ini lebih khusus artinya dari sekadar goyang artis dangdut, sebab dilakukan bukan di panggung terbuka, tetapi di panggung tertutup seluas 1,5 x 2 meter persegi, tanpa penonton. Ini adegan penyatuan tubuh dari orang berbeda jenis selangkangan.

Untuk istilah adegan di panggung tertutup, koran itu tidak akan bercerita dengan menggunakan istilah umum. Kata yang digunakan adalah "cewek" juga, tetapi dengan menambahkan awalan "nge". Untuk yang lelaki dipakai kata "tot". Dan, kalau diteruskan Anda tahulah sendiri.

Berita apa pun akan disampaikan lebih banyak dengan menggunakan kalimat pasif. Kalimat aktif tidak menggunakan awalan "me". Biasanya menggunakan huruf awal kata dasar yang diluluhkan. Misalnya, ngelaut, ngancam, nangis, nolak, dst dst dst.

Misalnya yang ini:

1. Cewek hamil 4 bulan dilipet, dimasukin peti. Biar gampang dilipet, selangkangannya sengaja disobek.

2. Cewek kenalan ama cowok lewat chatting. Bukan cuma badannya yang gede, nafsunya si cowok segambreng juga. Si cewek dipukulin, dipaksa karaoke, diperkosa, ditabrak motor.

TKW kerja di Arab, dihajar matanya, dipukul kepalanya, disikat badannya, ditiban punggungnya.

Kalau membaca harian Pos Kota, hampir pasti juga saya akan melirik sebuah kolom di pojok kanan bawah. Judul rubriknya, Nah, Ini Dia. Yang diceritakan hampir semuanya soal selingkuhan dan selangkangan.

Dalam rubrik itu, istilah yang digunakan pun khusus. Kalau seorang cewek atau janda kembang setuju diajak untuk berkencan oleh lelaki iseng, maka untuk menyatakan "setuju" istilah yang digunakan bukan "ya" atau "ayo". Kata "ayo" itu akan berubah menjadi "ho'oh" seperti kebiasaan orang di kampung-kampung di Jakarta.

Di samping menyatakan setuju, kata "ho'oh" itu dapat juga berarti "berkencan dan bersanggama" tetapi pada saat yang sama dapat berubah menjadi kata kerja pasif yang sama artinya dengan "diperkosa".

Contohnya begini:

Cewek SMK mau ke sekolah, ditaksir sopir angkot diajak ho'oh. Si cewek nolak tetep aja diho'oh. Lah, itu mah perkosaan, Bang!

(dari koran Lampu Merah 28 Desember 2007)

Ketika membaca berita seperti ini, saya cuma bisa cengar-cengir, ketawa sendiri seperti orang gila. Ini hiburan murah setelah kecapaian menyunting berita serius di kantor. Isinya benar atau tidak tak usah dipikirin. Peduli amatlah.

Saya cuma bisa bilang ho'oh sajalah.

Umbu Rey

TEMBAK

TEMBAK itu apa? Itu kata sebenarnya cuma sebuah lema atau entri yang tidak mempunyai arti apa-apa. TEMBAK itu baru memiliki pengertian jikalau diberi imbuhan me(N) atau ber. Dari
situ orang lalu mengarahkan pikiran ke masalah peluru dan senapan. Karena itu, MENEMBAK diberi arti kegiatan atau tindakan melepaskan peluru dari senjata api seperti pistol, senapan, atau meriam. Demikian juga BERTEMBAKAN artinya saling melepaskan peluru dari senjata api.

Kata TEMBAK dipakai orang dalam olahraga dalam pengertian adu ketangkasan membidik sasaran dengan menggunakan peluru dan senapan. Sayangnya, jenis ketangkasan ini agaknya telanjur diartikan atau dimengerti oleh orang awam sebagai olahraga MENEMBAK. Entah mengapa disebut begitu, saya tidak tahu.

Di dunia percaloan dan angkutan kota Jakarta juga dikenal kata TEMBAK, tetapi tidak
ada hubungannya dengan soal bidik-membidik dengan senapan dan peluru. Kalau Anda hendak memperoleh SIM (Surat Izin Mengemudi) melalui jalur yang tidak resmi (percaloan) maka SIM Anda meskipun resmi (bukan palsu) disebut SIM TEMBAK. Permohonan SIM melalui pintu belakang ini biasanya lebih mahal dari yang sebenarnya tetapi sangat cepat proses penyelesaiannya.

Mengurus SIM dengan prosedur resmi biasanya agak repot lantaran orang yang mengajukan permohonan untuk memiliki surat izin mengemudi itu harus mengikuti ujian teori dan kesehatan yang memakan waktu sampai satu hari. Bagi pekerja sibuk, sangatlah membosankan dan melelahkan berdiri antri di tengah ribuan orang di markas Polda atau Polres.

Tetapi lewat pintu belakang atau calo, cukuplah Anda mengeluarkan uang (biasanya sampai Rp300 ribu untuk SIM C menurut permintaan si calo). Harga resmi melalui prosedur sesungguhnya tidak lebih dari Rp82.500. Setelah satu jam, Anda akan dipanggil untuk potret wajah dan dalam waktu yang tidak terlalu lama, SIM pun keluar. Selesai sudah.

Di kalangan sopir angkot (angkutan kota) terutama di pinggiran kota Jakarta seperti Bekasi, dikenal juga istilah SOPIR TEMBAK. Ini orang tidak punya SIM tetapi dia dapat mengemudi dengan lancar untuk menggantikan sopir sesungguhnya, sekadar untuk memperoleh
uang rokok. Yang begini ini biasanya merupakan makanan empuk bagi polisi yang suka
cari uang tambahan. Pengadilan tilang di tempat pun dilaksanakan. Kasih uang paling sedikit seratus ribu, maka Anda boleh lewat.

Begitu juga prosedur untuk memiliki KTP atau Kartu Tanda Penduduk. Yang ini prosesnya lebih mudah karena Anda tidak perlu pergi ke Kantor Kelurahan. Karena itu, jangan harap ada orang semisal Tommy Soeharto atau pejabat tinggi DPR-RI muncul di Kantor Kelurahan untuk urus perpanjangan KTP.

Kalau ada orang yang Anda percaya, atau Pak Hansip Rukun Tetangga kebetulan lewat di depan rumah, berikan saja uang secukupnya dan serahkan pula pas foto ukuran 2 x 3 cm sebanyak dua lembar. Paling lama tiga hari kemudian KTP Anda sudah selesai, dan Anda telah memiliki KTP asli. Inilah yang disebut KTP TEMBAK. Bikin KTP baru juga begitu, TEMBAK saja pakai uang maka KTP jadilah.

Pengurusan SIM dan KTP sesungguhnya tidak boleh dilakukan melalui pintu belakang atau calo. Itu perbuatan yang salah karena melawan hukum, tetapi istilah TEMBAK yang dipakai orang untuk itu benar. Tidak pernah ada seorang yang mengurus jasa percaloan menyebut SIM MENEMBAK atau KTP MENEMBAK, sebab tidak ada KTP yang dapat menembak.

Sopir-sopir angkot atau bus kota yang tidak resmi pun tidak pernah menggunakan senapan atau pistol untuk mengemudikan oto kendaraannya. Karena itu tidak ada istilah SOPIR MENEMBAK. Mau menembak sasaran apa dia? Bukankah MENEMBAK itu harus dengan senjata yang ada pulurunya? Kalau tidak, bukan menembak namanya itu.

Anehnya, di bidang olahraga istilah MENEMBAK justru digunakan sebagai nama cabang olahraga yang resmi. Ketika saya menjadi penyunting di "desk" olahraga beberapa tahun yang silam, istilah olahraga MENEMBAK saya ganti dengan TEMBAK saja. Menurut jalan pikiran saya, semua cabang olahraga mestilah menggunakan kata dasar saja sebagai nama. Contohnya, tinju, renang, lari, lompat, lempar, loncat indah, gulat, silat, terjun payung, dan arung jeram. Olahraga dengan menggunakan alat permainan juga begitu. Misalnya sepak bola, bulu tangkis, anggar, tenis meja, tenis lapangan, basket.

Belum pernah saya mendengar orang mengatakan olahraga meninju, atau olahraga bertinju. Pun, tidak ada olahraga berenang, melompat, meloncat, menggulat, bersilat, atau mengarung jeram. Demikian juga tidak pernah terdengar olahraga menyepak bola, bulu bertangkis-tangkisan, menganggar, menenis meja, membasket.

Tetapi prombakan untuk membetulkan sesuatu dalam bahasa Indonesia tampaknya memang sulit dilakukan apalagi jika sudah mendarah daging, sudah menjadi adat istiadat dan kelaziman. "Nggak boleh diubah, MENEMBAK itu kan sudah nama olahraga. Orang banyak mengerti begitu!" kata senior saya di meja sunting olahraga. Saya diam saja.

Untunglah, datang juga saatnya perubahaan ketika Megawati Sukarnoputri menjadi presiden RI menggantikan Gus Dur. Suatu saat, Pengurus Olahraga Persatuan Menembak Indonesia PERBAKIN mengadakan kejuaraan di Jakarta dengan mengambil nama Presiden Megawati.

Saya lalu menulis judul dengan huruf besar-besar: KEJUARAAN MENEMBAK MEGAWATI TERBUKA. Senior saya marah-marah karena katanya tidak sopan. "Mosok, kau suruh orang menembak Megawati yang terbuka! begitu dia bilang.

Maka jawabku, "Dulu saya bilang cukup pakai kata TEMBAK saja, tetapi kau bilang jangan ubah karena nama olahraga itu memang sudah begitu. Sekarang Megawati sudah terbuka. Berani kau MENEMBAK pakai "pistolmu" itu?" Dia bengong saja.

Umbu Rey

Rabu, 05 Maret 2008

BENAR vs BETUL

Kebanyakan kita (para wartawan dan pemakai bahasa Indonesia) pada umumnya menganggap BETUL itu sama persis dengan BENAR. Jakalau saya berkata bahwa kedua kata itu tidak sama pastilah orang tidak setuju. Apalagi kalau saya berkata bahwa kedua kata itu tidak bersinonim maka orang yang lain akan protes keras.

Orang yang BENAR itu biasanya adalah orang yang melakukan perbuatan baik, jujur dalam ucapan dan perbuatan menurut hukum negara dan hukum Tuhan. Tetapi, orang yang BETUL itu sampai sekarang belum pernah saya dengar.

Dua kata yang berlainan bunyinya disebut sama jikalau kata-kata itu tidak mengubah makna sebuah kalimat meskipun dipakai secara bergantian. Makna katanya pun tidak akan berubah meskipun kata-kata itu mendapat imbuhan.

Ahli bahasa Indonesia dari Unversitas Padjadjaran Bandung, Prof Yus Badudu, berkata (saya lupa kapan dan di mana, tetapi saya kira di dalam buku "Inilah Bahasa Indonesia Yang Baik dan Benar" bahwa dalam bahasa Indonesia tidak ada kata yang sama persis maknanya. Karena itu, paling-paling "bersinonim" dengan kata yang lain. Maksudnya, memiliki kemiripan makna.

Menurut hemat saya, sebuah lema dalam bahasa Indonesia pada umumnya akan berubah maknanya jikalau mendapat imbuhan (awalan atau akhiran). Kosa-kata bahasa Indonesia setakat ini memang belumlah banyak dibanding dengan bahasa Jawa apalagi bahasa Arab atau Inggris. Tetapi sistem "imbuhan" justru telah memperbanyak pengertian sebuah kata dasar.

Adakah sistem ini dalam bahasa yang asing? Mungkin Kang Tendy atau anggota milis guyubbahasa yang lain bisa menjawab, lantaran pengetahuan saya tidak luas dalam perkara nahu atau tata bahasa.

Teman saya seorang Korea Selatan, Yong Kim namanya. Dia dosen bahasa Ingrris di Universitas Kristen Kupang NTT. Hampir saban hari dia datang pada saya dan mengatakan terus-terang bahwa tata bahasa Indonesia sulit sekali dimengerti jika sampai pada kasus "kata berimbuhan".

Dari kata dasar BETUL akan turun kata MEMBETULKAN dan KEBETULAN, dan dari kata dasar BENAR akan turun pula kata MEMBENARKAN dan KEBENARAN. Dua kata berimbuhan ini mirip, tetapi jika ditilik lebih cermat akan tampak sekali perbedaan maknanya.

Kita dapat MEMBETULKAN radio yang rusak tetapi tidak mungkin kita MEMBENARKAN sepeda motor yang rusak. Dalam kasus ini, MEMBETULKAN berarti memperbaiki supaya baik kembali seperti semula, tetapi MEMBENARKAN artinya membuat supaya benar, atau mengakui bahwa sesuatu itu benar atau dibenarkan.

Setakat ini, KEBENARAN dan KEBETULAN dipakai dalam percakapan secara serampangan atau mana suka sebab orang menganggap dua kata itu sama saja artinya. "Wah, gua cari-cari lu dari kemaren...KEBENARAN, lu muncul!" Yang dimaksud dengan KEBENARAN dalam kalimat dialek Jakarta itu sebenarnya adalah KEBETULAN, yang berarti tidak disangka-sangka.

Ya, kita dapat mengatakan sesuatu dengan seBENAR-BENARnya tetapi kita tidak lazim mengatakan dengan seBETUL-BETULnya.

Saya dibuat menjadi bingung ketika membaca berita yang disiarkan Kantor Berita Antara:

Grobogan, 3/5 (ANTARA) - Rumah Nyonya Wahyuni di Kelurahan Kuripan Kecamatan Purwodadi Jawa Tengah diobrak-abrik kawanan pencuri Rabu malam dan menyebabkan korban kehilangan 60 gram emas senilai Rp20 juta.

Kapolres Grobogan, AKBP Juhartana, MEMBENARKAN kejadian itu dan polisi sedang melacak dan mengejar pelakunya.***

MEMBENARKAN kejadian itu artinya mengakui bahwa peristiwa pencurian di rumah Nyonya Wahyuni adalah benar atau dibenarkan, atau tidak salah. Padahal, pencurian di mana pun di dunia ini selalu adalah perbuatan yang salah menurut hukum pidana dan hukum Taurat.

Kalau peristiwa pencurian itu dianggap benar saja, menurut AKBP Juhartana, mengapa pula polisi harus melacak dan mengejar pelakunya? Dengan perkataan lain, jikalau peristiwa pencurian itu benar atau dibenarkan polisi, maka kawanan pencuri itu harus pula diakui sebagai orang yang benar. Betul to?

Umbu Rey