Sabtu, 15 Maret 2008

Sumpah Pemuda

Tanggal 28 Oktober adalah hari Sumpah Pemuda karena pada waktu itu para para pemuda
bersumpah atau mengucapkan sumpah. Mahapatih Gajah Mada di Kerajaan Majapahit juga
bersumpah dan sumpahnya itu adalah Sumpah Palapa.

Jikalau Sumpah Pemuda kita artikan sebagai pemuda yang bersumpah, jangan sekali-kali mengartikan Sumpah Palapa itu adalah Palapa yang bersumpah. Tidak logis. Pemuda adalah orang berusia muda yang dapat mengucapkan sumpah atau janji, sedangkan palapa adalah sejenis buah yang pahit rasanya, dan tidak mungkin dapat mengucapkan sumpah.

Supaya tidak menimbulkan salah pengertian lebih baik kita menyebut Sumpah Gajah Mada saja, karena sumpah itu memang diucapkan oleh beliau. Jadi klop to? Ada Sumpah Pemuda dan ada pula Sumpah Gajah Mada.

Sumpahnya pemuda dan sumpahnya Gajah Mada adalah setia, suci, atau tulus, jujur. Tetapi bukan sumpah pocong. Sebab waktu mengucapkan sumpahnya itu Gajah Mada dan para pemuda tidak dibungkus atau membungkus dirinya dengan kain kafan seperti mayat. Mungkin waktu itu sumpah pocong itu belum dikenal.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi ketiga, "sumpah" adalah (1) pernyataan yang diucapkan secara resmi dengan bersaksi kepada Tuhan atau kepada sesuatu yang dianggap suci, (2) pernyataan disertai tekad melakukan sesuatu untuk menguatkan kebenarannya atau menderita sesuatu kalau pernyataan itu tidak benar, dan (3) janji atau ikrar yang teguh.

Di samping itu "sumpah" juga memiliki arti lain yakni kata-kata yang buruk (caci maki dsb), kutuk dan tulah. Kita mengenal sumpah serapah, sumpah sepata, dan sumpah serampu. Sumpah yang begini ini semata-mata diucapkan kalau orang sedang marah berat karena sakit hati. Maksudnya supaya orang yang disumpah itu kena tulah, atau kalau perlu mati saja sekalian.

Menyumpah atau menyumpahi artinya mengeluarkan kata-kata kotor, atau memaki-maki seseorang, atau mengutuk orang supaya kena tulah, atau kena bencana. Kalau sumpah itu mencapai maksudnya atau terwujud maka sumpah itu sakti. Itulah sumpah yang berlaku dalam dongeng Si Malin Kundang.

Bersumpah-sumpahan adalah saling bersumpah, saling berteguh-teguhan dalam janji,
sedangkan menyumpah-nyumpah dan sumpah-menyumpahi adalah saling mengeluarkan kata-kata keji dan kotor dengan maksud agar lawan kena tulah atau terhina.

"Gue sumpe lu jadi kodok!" begitu kata sumpah gaya anak Betawi. Kalau sumpah itu sakti maka orang yang disumpah akan menjadi kodok.

Sumpah Palapa yang diucapkan oleh Gajah Mada itu bukan sumpah serapah. Itu sumpah sakti juga. Tetapi beliau mengucapkannya dengan berpantang tidak akan menikmati makanan enak sebelum menaklukkan dan mempersatukan Nusantara. Dulu, waktu belajar sejarah Majapahit di SD, yang dimaksudkan dengan makanan enak adalah palapa, yaitu makanan sejenis rebung.

Palapa itu menurut KBBI hanya ada dalam dongeng. Buah yang rasanya sama pahitnya dengan palapa adalah buah maja. Dari nama buah itu terbentuklah Kerajaan Majapahit yang hebat itu.

Kalau buah palapa itu hanya ada dalam dongeng, jangan-jangan Sumpah Palapa itu cuma dongeng doang, sama seperti sumpahnya ibu dari Si Malin Kundang. Soalnya, silsilah Mahapatih Gajah Mada sampai sekarang tidak pernah dijelaskan. Bahkan kuburnya pun entah di mana. Patung atau arca yang diserupakan dengan Gajah Mada sekarang ini, konon, tidak mirip orang Jawa. Raut wajah patung itu hampir sama dengan orang Papua atau Negro.

Tetapi, sejarah telah menggoreskan kisah bahwa Mahapatih Gajah Mada itu memang
pernah bersumpah.

Lalu, seperti apa rupanya buah maja itu? Saya belum tahu. KBBI menjelaskan bahwa buah maja itu berasa pahit, bentuknya bulat atau agak lonjong, dagingnya berwarna jingga, dan dapat digunakan sebagai obat diare, kolera, dan disentri. Mungkin ada dijual di Pasar Minggu.

Kalau buah maja itu memang ada, mengapa sumpah Gajah Mada itu tidak disebut Sumpah Maja. Akh, kalau disebut begitu pastilah sumpah palsu. Tetapi ini cuma pengandaian saja. Sejarah Indonesia telah tertulis di atas buku bahwa sumpah itu disebut Sumpah Palapa.

Pada tahun 1977, Pak Harto (presiden RI kedua) mengambil nama Palapa itu untuk menyebut satelit Indonesia yang mengorbit di angkasa. Satelit itu harus diluncurkan ke angkasa supaya wilayah Indonesia dapat lebih erat dipersatukan dengan sistem telekomunikasi yang canggih.

Lain Gajah Mada lain pula Pak Harto. Patih Gajah Mada bersumpah pantang makan enak sebelum Nusantara dipersatukan, tetapi Pak Harto sesudah bersumpah di depan sidang Majelis Permusyawartan Rakyat, sibuk mengumpulkan harta selama berkuasa 32 tahun lamanya. Anak-dan cucunya bahkan dapat berfoya-foya sambil poligami. Enak benar hidup ini bagi mereka. Mau usut kekayaannya? Saya rasa itu pekerjaan sia-sia. Mungkin sekali Pak Harto sudah bersumpah juga kepada Ibu Tien dan pengacaranya, "Jangan bilang-bilang ya, dari mana saya dapat harta kekayaan ini. Bilang saja kepada rakyat bahwa saya tak punya uang satu sen pun."

Sumpahnya pemuda pada 28 Oktober 1928 itu sumpah apa? Itu bukan sumpah palsu, bukan pula sumpah serapah, walaupun para pemuda ketika itu mengucapkannya begitu saja tanpa berpantang seperti Gajah Mada. Apakah sumpah itu resmi?

Sumpah yang resmi itu misalnya diucapkan sepasang pengantin di hadapan pendeta, pastor atau penghulu. Pendeta atau pastor mengucapkan sumpah atau janji di depan altar gereja dan diikuti oleh kedua mempelai dan disaksikan oleh umat yang lain. Begitu juga sumpah seseorang yang menjadi saksi di Pengadilan Negeri, atau sumpah ketika seorang dilantik menjadi pejabat negara.

Mungkin itu sebabnya maka bersumpah sama artinya dengan "mengangkat sumpah". Sebab pernyataan sumpah itu diucapkan dulu oleh pastor atau penghulu kemudian diikuti oleh kedua mempelai. Jadi, ada pihak yang mengangkat sumpah dan ada pihak yang mengambil sumpah.

Sekarang ini, orang yang mengangkat sumpah tentu saja tidak perlu berpantang seperti Gajah Mada, sebab perkawinan itu memang tujuannya untuk menikmati sesuatu yang enak-enak siang dan malam, baik dalam suka dan duka.

Bayangkan, kalau setelah mengucapkan sumpah kedua mempelai berpantang tidak akan
bersetubuh sebelum mengusai rumah mertua dan perabotannya, atau sebelum mertua meninggal dunia. Mana tahan? Malah sebelum mengangkat sumpah, ritual persetubuhan justru sudah lebih dulu diselenggarakan dengan cara yang seksama. Pantang ditunda. Mosok setelah bersumpah
mempelai lelaki cuma membelai-belai dan mengelus-elus atau paling pol mengendus-endus tubuh sang istri. Akh, tidak mungkin itu.

Sumpah Pemuda itu sama saja dengan Sumpah Palapa. Tidak disebutkan dalam sejarah bahwa mereka bersumpah dengan bersaksi kepada Tuhan. Cuma disebutkan: Kami pemuda dan pemudi Indonesia mengaku bertanah air satu, berbangsa satu, dan menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia.

Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 adalah sebuah tekad atau kebulatan hati yang kini nyatanya sudah terwujud. Begitu diucapkan dan begitulah tekad itu dijalankan. Para pemuda dan pemudi mengucapkan sesuatu sumpah dengan jujur, dan melakukannya tanpa pamrih. Lantas
semuanya terjadi seperti yang berlaku sekarang ini.

Sumpah pemuda zaman saiki mesti diucapkan dengan menyebut "demi Allah saya bersumpah", disaksikan oleh pendeta atau ustaz/penghulu yang mengangkat kitab suci sampai ke atas kepala. Sumpah yang begini tempaknya resmi tetapi kenyataannya palsu belaka. Boro-boro
berpantang tidak akan menerima sesuatu dari siapa pun juga, habis bersumpah langsung tanda tangan Memoradum of Understanding atau MoU, yang dalam terjemahan bebas dapat juga berarti Tahu Sama Tahu atau TST.

"Tuan boleh kerja ini proyek tetapi mesti kasih saya sepuluh persen dari setiap keuntungan. Nilai proyek digelembungkan dulu. Mark-up gitu lho!" Demikianlah kebiasaan orang setelah bersumpah. Maka itu Obie Messakh melantunkan lagu "cengeng" pada awal tahu 1980-an, tentang suami yang melanggar sumpah: "Dulu bersumpah janji di depan saksi/dulu segenggam emas kau pinang aku/kini semua tinggal cerita hati yang luka".

Sumpah yang sekarang ini, siapa pun yang mengucapkannya, patutlah diragukan kebenaranya. Karena itu anak-anak muda atau pemuda dan remaja dewasa ini sudah enggan mengucapkan sumpah. Mereka lebih suka bilang dalam bahasa Inggris "swear". Kesepakatan apa saja yang mau mereka laksanakan pastilah didahului dengan ucapan "swear" sambil mengacungkan dua jari, supaya jangan dikira palsu.

Kata Inggris itu diserap saja dan disesuaikan dengan bibir mereka, "suer". Karena itu, setiap kali ada pelantikan pejabat di departemen lebih baik kita mengucapkan: "Demi Allah saya suer!" Perkara itu dipatuhi atau tidak, soal lain. Pokoknya suer sajalah.

28 Oktober 2007

Umbu Rey

Tidak ada komentar: