Di dalam masyarakat ada kebiasaan berbahasa untuk menyatakan sesuatu dengan caranya sendiri dan dipahami di kalangan atau di lingkungan sendiri. Barangkali inilah yang disebut "bahasa selingkung".
Bahasa selingkung itu bukan bahasa daerah yang sama sekali tidak dimengerti oleh penutur lain, tetapi bahasa Indonesia juga. Cuma, jika kita hendak memahaminya, dahi kita mesti dibikin mengkerut dulu karena berpikir keras, untuk menebak apa maksudnya. Sebab, seringkali satu kata yang sudah umum dipakai bisa berubah maknanya dalam konteks yang lain.
Dalam bahasa Indonesia formal, masalah bahasa selingkung itu mesti dihindarkan sebab merusak kaidah dan tata bahasa. Lagi pula, orang pembaca tidak akan mengerti dan kita tidak akan mendapat umpan balik (jawaban). Masalah bahasa selingkung ini pernah dibicarakan dalam diskusi bahasa FBMM di Kantor Berita Antara beberapa tahun silam.
Tetapi, bagi saya, perlu juga ada bahasa model selingkung itu. Setidaknya untuk bacaan sambilan untuk mengisi waktu luang dalam perjalanan atau atau ketika sedang duduk di halte bus atau sedang menunggu KRL ekonomi di stasiun kereta api.
Di dalam KRL ekonomi saya suka membeli koran "orang bawah" (kalau boleh disebut begitu) sekadar untuk mencari hiburan, sambil mengamati kebiasaan orang menyampaikan pesan di kalangannya sendiri. Harganya tidak lebih dari seribu rupiah dan kalau sudah siang bisa turun menjadi lima ratus rupiah saja.
Membaca koran seperti ini tidak perlu disimak dengan serius isi beritanya. Anggap saja peristiwa yang diceritakan memang terjadi, sebab yang diceritakan di situ jangan harap ada di dalam koran serius semisal Kompas atau Koran Tempo.
Oh, maaf. Yang diceritakan di situ adalah melulu masalah artis baik yang tenar atau yang disebut selebritas dan (kebanyakan) artis kampungan penjaja tubuh. Ceritanya tentu saja lebih banyak soal selingkung, selingkuh dan selangkangan, atau masalah orang yang "begituan" dan perkosaan.
Nah, kalau ceritanya sudah sampai ke pasal "persatuan tubuh" orang berlainan jenis maka kita yang membaca seakan-akan dibawa ke hotel jam-jaman atau ke tekape (tempat kejadian perkara) perkosaan yang tidak jelas juga di mana alamat sesungguhnya.
Harap disimak, pada saat itulah jalan cerita digunakan dengan bahasa "selingkung". Kata perempuan atau wanita yang biasa kita mengerti dalam bahasa Indonesia formal, akan berubah menjadi "cewek", tak peduli perempuan itu dewasa atau masih di bawah umur. Pokoknya jenis kelaminnya perempuan pastilah disebut "cewek". Begitu juga yang laki-laki akan disebut "cowok" untuk semua umur. Itu sudah umum diketahui orang ramai.
Berbeda dari kata "cowok" ada sedikit perbedaan pada kata "cewek". Jika seorang perempuan itu sudah berusia renta, dan pekerjaannya berurusan dengan membesarkan alat vital lelaki maka "cewek" itu akan berubah menjadi Mak Erot, siapa pun dia. Padahal, nama aslinya mungkin Sri Hartuti, atau Muliani. Persis istilah pedagang satai di Jalan Blora. Hampir pasti semuanya disebut Pak Kumis meskipun dia tidak berkumis.
Mak Erot kalau sudah menyelesaikan pekerjaannya, maka jaminannya akan disebut "maknyus". Yang "maknyus" itu pastilah berhubungan dengan "goyang". Istilah ini lebih khusus artinya dari sekadar goyang artis dangdut, sebab dilakukan bukan di panggung terbuka, tetapi di panggung tertutup seluas 1,5 x 2 meter persegi, tanpa penonton. Ini adegan penyatuan tubuh dari orang berbeda jenis selangkangan.
Untuk istilah adegan di panggung tertutup, koran itu tidak akan bercerita dengan menggunakan istilah umum. Kata yang digunakan adalah "cewek" juga, tetapi dengan menambahkan awalan "nge". Untuk yang lelaki dipakai kata "tot". Dan, kalau diteruskan Anda tahulah sendiri.
Berita apa pun akan disampaikan lebih banyak dengan menggunakan kalimat pasif. Kalimat aktif tidak menggunakan awalan "me". Biasanya menggunakan huruf awal kata dasar yang diluluhkan. Misalnya, ngelaut, ngancam, nangis, nolak, dst dst dst.
Misalnya yang ini:
1. Cewek hamil 4 bulan dilipet, dimasukin peti. Biar gampang dilipet, selangkangannya sengaja disobek.
2. Cewek kenalan ama cowok lewat chatting. Bukan cuma badannya yang gede, nafsunya si cowok segambreng juga. Si cewek dipukulin, dipaksa karaoke, diperkosa, ditabrak motor.
TKW kerja di Arab, dihajar matanya, dipukul kepalanya, disikat badannya, ditiban punggungnya.
Kalau membaca harian Pos Kota, hampir pasti juga saya akan melirik sebuah kolom di pojok kanan bawah. Judul rubriknya, Nah, Ini Dia. Yang diceritakan hampir semuanya soal selingkuhan dan selangkangan.
Dalam rubrik itu, istilah yang digunakan pun khusus. Kalau seorang cewek atau janda kembang setuju diajak untuk berkencan oleh lelaki iseng, maka untuk menyatakan "setuju" istilah yang digunakan bukan "ya" atau "ayo". Kata "ayo" itu akan berubah menjadi "ho'oh" seperti kebiasaan orang di kampung-kampung di Jakarta.
Di samping menyatakan setuju, kata "ho'oh" itu dapat juga berarti "berkencan dan bersanggama" tetapi pada saat yang sama dapat berubah menjadi kata kerja pasif yang sama artinya dengan "diperkosa".
Contohnya begini:
Cewek SMK mau ke sekolah, ditaksir sopir angkot diajak ho'oh. Si cewek nolak tetep aja diho'oh. Lah, itu mah perkosaan, Bang!
(dari koran Lampu Merah 28 Desember 2007)
Ketika membaca berita seperti ini, saya cuma bisa cengar-cengir, ketawa sendiri seperti orang gila. Ini hiburan murah setelah kecapaian menyunting berita serius di kantor. Isinya benar atau tidak tak usah dipikirin. Peduli amatlah.
Saya cuma bisa bilang ho'oh sajalah.
Umbu Rey
Kamis, 06 Maret 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar