DEBAT bersinonim dengan "diskusi, dan kontes" yang semuanya kita serap dari bahasa Inggris, debate, discussion, dan contest. Cuma masalahnya, pengggunaan kata DEBAT dalam bahasa Indonesia seringkali tidak lagi sesuai dengan makna aslinya dalam bahasa Inggris.
Kamus The American Heritage Dictionary of the English Language menyebutkan bahwa "debate" adalah "a formal contest ini which two opposing teams defend and attack a given proposition".
Saya menarik sebuah pengertian dari kamus itu, bahwa dalam DEBAT mesti ada dua tim yang saling menyerang dan atau mempertahankan sebuah masalah yang dikemukakan. Maka itu, DEBAT biasanya akan menjadi semacam adu argumentasi, adu pikiran, adu mulut, silat lidah atau untuk mempertahankan atau menolak suatu dalil sehingga menjadi ribut.
Dalam Tesaurus Bahasa Indonesia bikinan Eko Endarmoko cetakan kedua tahun 2007, kata DEBAT jika bisa berarti BERBANTAH(an) dan dapat juga berarti BERTENGKAR mulut.
Berbantahan dan bertengkar mulut dalam sebuah kontes pemilihan presiden di Amerika Serikat adalah hal wajar, seperti bisa kita lihat dalam pertarungan menuju Gedung Putih. Satu kandidat menyerang yang lain dan yang lain menjatuhkan lawannya dengan argumentasi yang mungkin menyakitkan hati lawannya. Itu dilakukan untuk meyakinkan para masyarakat umum agar bisa menentukan siapa sebenarnya yang layak atau yang paling berhak menjadi presiden.
DEBAT yang lazim dilakukan di negara demokrasi seperti Amerika Serikat itu agaknya masih belum bisa diterapkan di Indonesia, mungkin karena padanan kata itu enggan kita sebut sebagai PERTENGKARAN atau BERBANTAHAN. Atau mungkin juga karena budaya kita atau daya nalar dan kedewasaan kita belum lagi setimpal dengan negara adikuasa itu.
Maka yang terjadi di DKI Jakarta ketika calon gubernur Adang Daradjatun dan Fauzi Bowo naik pentas pada hari Sabtu malam 4 Agustus 2007 sebenarnya bukanlah DEBAT. Mereka naik panggung dan masing-masing menjawab satu pertanyaan yang dikemukakan oleh empat panelis dalam batas waktu dua menit.
Ajang kampanye yang dilakukan oleh dua calon gubernur itu jelas bukan DISKUSI, bukan pula KONTES dan karena itu bukan pula DEBAT. Tidak ada pertengkaran dan perbantahan, tidak ada adu argumentasi dan tentu saja tidak ada keributan. Yang justru menjadikan suasana tempat kampanye itu ramai adalah karena pendukungnya yang ribut bertempik sorak. Tak jelas pula apa yang disorak-sorakkan.
Lalu, apakah ajang kampanye itu DEBAT atau DISKUSI, ataukah KONTES? Pada hemat saya, semuanya tidak pas. Saya lebih suka menyebut itu adalah CERDAS CERMAT TINGKAT SLTP SE-DKI JAYA.
Jawaban terhadap pertanyaan panelis tidak realistis, sebab para panelis juga tidak mengajukan suatu masalah yang boleh diperdebatkan oleh kedua calon gubernur. Mungkin Adang sedikit lebih baik ketika dia berjanji akan memberikan jaminan kesehatan gratis bagi kaum miskin dan sekolah gratis dari tingkat SD hingga SMA di DKI Jakarta.
Tetapi, ketika tim Fauzi Bowo menjawab pertanyaan panelis tentang pemberantasan korupsi, calon wakil gubernur Prijanto justru melibatkan pengawasan tuhan. Saya langsung tertawa terpingkal-pingkal, sebab itu jawaban sangat konyol.
Kita semua tentu tahu bahwa pada kenyataannya tuhan tidak pernah berhasil memberantas korupsi di Indonesia, atau mungkin juga tuhan sengaja membiarkan umatnya di Indonesia untuk bebas korupsi. Mohon, maaf, di Indonesia tuhan itu nyaris gagal total dalam misi penyelamatan moral manusia.
Agama memang ada, ayat-ayatnya yang (suci) dikumandangkan dengan fasih oleh umatnya, tetapi korupsi toh tetap unggul, merajalela di mana-mana. "Time is money, ... tuhan adalah uang". Karena itu psikolog Dr Sarlito Wirawan menciptakan pelesetan STMJ (Sembahyang Tekun Maksiat Jalan).
Ini baru masalah yang perlu diperdebatkan dan dipertengkarkan. Jadi, Anda mau membantah atau mau bertengkar? Silakan.
Umbu Rey
Senin, 17 Maret 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar