Senin, 21 Januari 2008

Pada mulanya adalah KATA

"Pada mulanya adalah Kata". Ini frasa sederhana yang --kata mantan PU Antara M. Sobary-- selalu digunakan oleh Presiden Penyair Indonesia Sutardji Khalzoum Bachry sebagai pembuka kredo puisinya. Frasa ini mungkin tidak ada maknanya sama sekali bagi Anda karena hanya terdiri atas empat kata.

Sutardji menggunakan kata itu tentu saja karena dia punya pertimbangan sendiri. Para pembaca puisinya itu mungkin sekali akan berpikir keras untuk mengerti maksud di balik kata-kata itu. Tetapi, bagi Sutardji, itu kalimat tidak sekadar indah untuk membingkai untaian puisi tetapi tentu mempunyai makna juga.

Suatu ketika saya dipanggil Pak Sobary ke ruang kerjanya untuk memberikan penjelasan mengenai pengetahuan bahasa kepada beberapa wartawan daerah yang diundang untuk magang di Jakarta. Mereka adalah wartawan-wartawan yang dianggap memiliki peranan besar bagi kemajuan Antara di daerah.

Saya lalu bertanya kepada mereka, "Tahukah Anda makna di balik frasa 'pada mulanya adalah Kata' itu?" Tak seorang pun menjawab. Pertanyaan lebih sederhana kemudian saya kemukakan lagi. Siapakah yang mula-mula mengucapkan frasa itu? Mereka diam saja, dan menunggu penjelasan selanjutnya dari saya. Pak Sobary pun cuma manggut-manggut.

Paling gampang kita mengatakan bahwa frasa itu pastilah milik Sutardji sebab di negeri ini dialah yang kita anggap telah menggunakan kata-kata itu lebih dahulu. Karena itu, pastilah pula bahwa "pada mulanya adalah Kata" bolehlah dianggap sebagai gubahan atau ciptaan, atau karangan Sutardji juga.

Sesungguhnya "pada mulanya adalah Kata" sudah terucap lebih kurang dua ribu tahun yang lampau. Kalimat pendek itu ditulis pertama kali di dalam kitab suci orang-orang pengikut Yesus Kristus, yang kita kenal sekarang bernama Alkitab.

Di dalam Injil Perjanjian Baru versi bahasa Inggris disebutkan "In the beginning was the Word". Kata-kata itu sebenarnya adalah terjemahan dari bahasa Gerika, sebab bahasa itulah yang paling banyak digunakan orang tatkala Yesus Kristus mewartakan ajaran-ajarannya. Yesus sendiri, konon, juga bersabda dengan menggunakan bahasa Aramik.

Salah seorang pengikut Kristus bernama Yohanes lalu membuka kredo Injilnya dengan sepenggal kata itu sebelum abad pertama berakhir, lebih kurang empat puluh tahun setelah Yesus Kristus terangkat ke surga.

Dalam kitab Injil Yohanes 1:1 (bahasa Inggris King James Version) tertulis: "In the beginning was the Word, and the Word was with God, and the Word was God". Konon, kalimat ini sudah diterjemahkan ke dalam lebih dari dua ribu bahasa, dan dalam bahasa Indonesia yang telah berkembang sekarang ini kata-kata itu diucapkan: "Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah."

Perhatikan kata "Word" (dalam huruf kapital diterjemahkan dengan Firman). Dahulu, Alkitab ditulis dalam bahasa Melayu, dan Word itu diterjemahkan dengan Kata. Tentu saja saya tidak akan gegabah mengatakan bahwa kalimat puisi Sutardji itu terambil dari Alkitab. Sebab, sesuatu yang sekarang ada sebenarnya sudah ada lebih dahulu.

Hei Sobat, saya tidak sedang berkhotbah menyampaikan siraman rohani, atau menyebarkan dogma agama Kristen. Saya ini bukanlah penginjil, dan lebih dari itu, saya ini sesungguhnya tidak mempunyai agama juga. Karena itu pula, jikalau Anda tidak berkenan dengan tulisan ini, arahkan kursor ke tombol "delete" di layar komputer di depan Anda, lalu tekan jari telunjuk pada tetikus (mause) di meja anda. Tulisan ini akan hilang dengan sendirinya.

Sesungguhnya saya hanya ingin mengorek sebuah makna dari persoalan "Kata"atau "Word" yang sengaja ditulis dengan huruf kapital, dan kebetulan saya ambil referensinya dari kalimat Injil itu. Sebab, menurut hemat saya, hampir tak seorang pun di dalam lembaga ini sadar atau menyadari bahwa hidup dan kehidupan ini sebenarnya berawal dari Kata atau Word itu. Tak ada sesuatu yang telah jadi, dan yang akan jadi tanpa bantuan kata. Sebab, sebelum dunia ini jadi, Kata itu sudah lebih dulu ada.

Manusia ini jadi karena ada Kata, dan karena itu manusia itu pun pada hakikatnya adalah kata juga. Kata-kata itu jikalau disusun menurut subjek, predikat lalu ditambahkan objek supaya lengkap dan mengandung pengertian maka akan terbentuklah sebuah kalimat. Selanjutnya, kalimat itu akan diucapkan orang dan menjadi bahasa.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi ketiga, bahasa diartikan sebagai sistem lambang bunyi yang arbitrer (mana suka) yang digunakan oleh anggota masyarakat untuk berinteraksi. Tetapi dalam tulisan ini, bahasa yang saya maksudkan dalah "pernalaran akal dan budi" manusia. Itulah yang menghidupkan kita.

Bahasa itulah yang memberikan kita tuntunan, bahasa itulah yang mengebulkan asap dari tungku atau kompor di dapur rumah kita, dan lantaran bahasa itu pula kita menjadi wartawan di kantor berita ini. Barangsiapa mengabaikan bahasa dan kata-kata akan mati kelaparan. Akalnya akan tumpul dirundung kebodohan, dan dia akan terlempar ke jurang penderitaan paling dalam dan di sana hanya ada tangis dan kertak gigi.

Semua orang besar dan kaya raya sudah menjadi besar dan dibesarkan karena bahasa dan kata-kata juga. Bukankah Aristoteles dan Pithagoras, Thomas Alva Edison, Enstein atau Darwin itu menjadi besar karena kata-kata? Yesus Kristus dan Nabi Muhammad itu pun besar dan dimuliakan umatnya lantaran sabda kata-katanya.

Coba sebutkan orang besar dalam negeri ini. Sukarno, Hatta, dan Syahrir sampai Tan Malaka, bukankah mereka itu menjadi besar sampai bisa menyatukan Indonesia ini dengan kata-kata? Demikian juga penyair dan alim ulama itu besar dan kemudian mencerahkan orang dengan kata-kata. Pramoedya Ananta Toer itu akan dikenang orang lantaran susunan kata-katanya yang tersebar dalam buku-bukunya.

O'o..! Anda jangan bercanda. Soeharto dan kroninya, Edy Tanzil dan antek-anteknya, serta mungkin mantan Presiden Marcos dari Filipina dan istrinya itu telah dituduh menjadi kaya raya dan besar lantaran korupsi.

Soeharto dibesarkan --konon-- melalui surat sakti Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret). Tetapi dengan surat sakti (yang sekarang menjadi perdebatan kontroversial) itu Soeharto tidak sekadar seorang presiden Republik Indonesia dengan kekuasaan tanpa batas. Dia juga adalah penguasa Orde Baru yang telah mengumpulkan uang banyak bagi keluarga dan kroni-kroninya.
Soeharto menyangkal tuduhan itu dan berkata "Saya tidak mempunyai uang satu sen pun!"

Lantaran uangnya berlimpah ruah yang didapatnya dari kekuasaan selama 32 tahun, maka dia dituduh oleh rakyat sebagai koruptor besar, dan Republik Indonesia di bawah pimpinannya pun mendapat julukan negeri paling korup di Asia Tenggara. Karena itu, Supersemar yang diperdebatkan itu lalu dipelesetkan menjadi, "Suharto Persis Seperti Marcos".

Sadarkah Anda bahwa "korupsi" itu juga adalah sebuah kata, dan kata itulah yang menjadikan Marcos dan Suharto sangat terkenal meskipun mungkin tabiat dan perilakunya mungkin bertentangan dengan hukum. Hukum itu adalah kata-kata juga. Jadi sekarang terserah Anda sekalian untuk menentukan pilihan dengan "pernalaran akal dan budi" sendiri.

Rumah mewah dan gedung bertingkat itu telah jadi juga karena kata dan bahasa, yakni wujud dari pernalaran akal dan budi manusia, dan mobil itu serta komputer canggih di depan Anda adalah wujud dari susunan kata-kata dalam bentuk yang rumit. Itu semuanya adalah kata-kata juga.

Lalu, bagaimana mungkin Anda menceritakan wajah saya kepada orang lain tanpa mengucapkan kata-kata. Anda tidak mungkin diam saja ketika berhadapan dengan seorang teman, sebab temanmu itu tidak akan mendapat gambaran wajah saya yang jelek amburadul atau ganteng tanpa kata-kata. Orang mengagumi kecantikan seorang wanita mungkin berujar," Oh, dia begitu cantik, sampai tak dapat dilukiskan dengan kata-kata sederhana." Dan, orang-orang jurnalis berkata bahwa foto dapat menggantikan seribu kata lantaran foto itu adalah kata-kata juga.

Sesungguhnya hanya orang-orang pandir bodoh dan tolol saja yang terjerat dalam siksa kemiskinan dan kemelaratan, lantaran mereka itu tidak dapat menggunakan kata-kata sebagai alat penghidupan. Sayangnya, mereka itu jarang sekali mendapat pencerahan, tetapi malah dibodoh-bodohkan dengan logika kata-kata yang dijungkirbalikkan. Mereka sekarang sekarat, tidak bisa buat apa-apa.

Jadi, apa kunci keberhasilan manusia? Tiada lain dari kata-kata dan bahasa itu juga. Pendidikan maju karena bahasa dan Perusahaan Umum (Perum) Lembaga Kantor Berita Antara ini pun kalau mau maju mestilah orang-orang di dalamnya memahami juga akan pengertian bahasa itu.
Untuk memperjelas tulisan ini ada baiknya saya ikutkan beberapa penggal kata-kata yang pernah ditulis oleh budayawan dan rohaniman Romo YB Mangunwijaya tentang "Pendidikan Manusia Merdeka" yang dimuat di dalam harian Kompas pada 11 Agustus 1992.

Berkatalah beliau, mengapa Soekarno-Hatta dan generasi mereka waktu masih mahasiswa kok sudah begitu cemerlang pandai, penuh keyakinan diri, dan mampu meyakinkan para kuasa dalam pentas perjuangan membela rakyat tertindas, bila dibandingkan dengan mahasiswa sekarang dengan usia dan kedudukan yang sama? Jauh dari kemanjaan borjuis dan mental priyayi mapan yang sudah puas dengan kenikmatan diri? Padahal generasi dulu jelas hasil iklim masyarakat terjajah dengan program-program sekolah dan budaya pendidikan yang kolonial?

Mestinya para putra-putri Indonesia yang sudah merdeka setengah abad, pada usia yang sama, ya mestinya jauh lebih cemerlang daripada pendahulu mereka. Adam Malik hanya berijazah SD. Begitu juga Kartini. Ki Hajar Dewantoro dan Jenderal Sudirman belum pernah jadi mahasiswa. Sutan Syahrir, perdana menteri, hanya "drop-out" universitas tingkat satu (karena ditugasi Mohammad Hatta yang masih mahasiswa juga, untuk pulang ke Tanah Air memimpin perjuangan).

Manusia itu punya bahasa. Pada hakikatnya manusia itu adalah bahasa juga. Isi dan kualitas bahkan modal kemajuannya terletak pada bahasanya. Bahasa dalam arti total, komunikasi, ekspresi dan daya tangkap dalam macam-macam wujud. Manusia tidak hanya berkomunikasi atau mengkomunikasi, tetapi dia dalam dirinya sendiri sudah berkomunikasi. Ini sangat tampak dalam diri bayi "yang belum bisa apa-apa", tetapi mampu membahagiakan ibu dan ayahnya, "pure by being there" melulu berkat kehadiran murninya.

Maka dari awal mula bukan daya rasional, apalagi matematika atau fisika (baca: rasio analitis abstrak) yang primer berinteraksi antara bayi dan ibunya dan ayahnya (baca: manusia-manusia), melainkan bahasa.

Maka tidak sulit dipahami, bahwa dalam setiap proses interaksi antar-manusia seyogianya penguasaan bahasalah diutamakan. Dengan kata lain, seni berkomunikasilah yang primer. Di segala jurusan, matematika, fisika, kimia, sebenarnya sebentuk bahasa juga. Lapangan eksakta dengan segala keterampilannya hanya mungkin bermekar pada tanah tumbuh budaya bahasa yang tinggi.

Maka, sekarang terserah Anda sekalian. Mau bikin maju ini Perum LKBN Antara? Pergunakan bahasa, dan gunakan logika. Sebab, pada mulanya adalah Kata.

Umbu Rey/Ombudsman

1 komentar:

fiksinoir mengatakan...

"Saya sampai di sini karena pada mulanya adalah Kata."