Senin, 30 Juli 2012

Pegadaian




Ini nama sebuah lembaga atau kantor, maka sebenarnya tak usahlah dipersoalkan mengapa dia bernama Pegadaian. Sama seperti teman saya si Mulyo, tak perlulah kita persoalkan mengapa dia bernama begitu, meskipun ditilik dari persoalan kaidah bahasa mestinya namanya dipanggil Mulia. Bukankah orang Batak juga bernama Todung Mulia Lubis? Lha, bapaknya itu anak kan orang Jawa, maunya dikasih nama Mulyo, lantas kita mau bilang apa? Terserah dialah!

Akan tetapi nama Pegadaian masih pantas kita gugat dari sudut pandang tata bahasa, lantaran kantor itu sudah milik umum yang menyangkut masalah penggandaian atau gadai-menggadai. Lagi pula, kata “pegadaian” sudah menjadi konsensus umum dan masuk pula dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Di dalam kamus kata pegadaian diberi arti tempat bergadai, atau rumah gadai. Itu yang jadi masalah. 

Motonya disebutkan dalam iklan televisi dan spanduk di mana-mana “mengatasi masalah tanpa masalah”, tetapi bertahun-tahun saya gelisah lantaran kata “pegadaian” justru telah menimbulkan masalah yang tak teratasi di benak saya. Meski dapat mengatasi masalah tanpa masalah, kantor itu ternyata hanya dapat mengatasi masalah penggandaian saja. Anda  tak akan mungkin mengatasi konflik politik atau masalah dugaan korupsi di proyek pembangunan pusat latihan atlet Hambalang lewat Kantor Pegadaian.

Bagi saya, nama Pegadaian itu perlu pula kita atasi juga sebab telah melanggar kaidah tata bahasa. Orang yang menggandaikan barangnya ke situ boleh saja “cuek bebek” dengan nama kantor itu,  sebab bagi mereka yang penting dapat uang dengan cara yang mudah dan cepat. Tetapi sampai sekarang saya tetap saja bingung mendengar nama itu. Kenapa bingung, karena saya bukan bapaknya si Mulyo.  

Kantor Pegadaian adalah tempat rakyat jelata (kebanyakan kaum tidak mampu) menggadaikan barang miliknya lantaran hampir setiap saat “kepepet duit” akibat  keperluan mendadak. Mereka lalu menyerahkan barang-barang miliknya yang paling berharga untuk ditukar dengan uang dengan nilai yang pantas. Rakyat jelata meminjam uang ke bank agak susah karena tak punya harta berupa tanah atau mobil sebagai jaminan atau agunan. Maka yang paling cepat menolong mereka adalah Pegadaian.

Di Pegadaian orang boleh menggadaikan barang miliknya apa saja, dan sebentar kemudian juru taksir menentukan berapa nilai uang yang akan diberikan kepada si penggadai. Si penggadai pun pulang dengan hati lega. Dalam waktu yang ditentukan kalau barang tidak bisa ditebus atau dilunasi, maka barang yang digadaikan itu akan dilelang. Yang tak bisa menebus barang gadaiannya pasrah saja kalau barang tak kembali, sebab masalah utama yakni terbebas dari beban “kepepet duit” untuk keperluan mendesak sudah teratasi. Pada umumnya barang gadaian dapat ditebus karena angsuran pengembalian sangat ringan.

Andai kata di dunia ini ada badan keuangan resmi bernama Dana Pegadaian Internasional (DPI) rasa-rasanya Republik Indonesia tak perlu kesulitan membayar subsidi BBM untuk rakyat tak mampu. Hubungi saja DPI, lalu gadaikan  Pulau Jawa beserta dengan segala isinya di dalam dan di atasnya. Pulau Jawa ditaksir sekian dolar, oke sajalah, dolar pun kita terima. Sampai batas waktunya, bisa ditebus kembali. Kalau tidak bisa ditebus, selesailah masalahnya, karena kita telah mengatasi masalah tanpa masalah. Itu lebih baik daripada pulau Sipadan dan Ligitan dicomot begitu saja oleh negara jiran tanpa proses penggadaian. Rugi kita, sebab tidak dapat duit.

Yang mungkin tak bisa diatasi Pegadaian adalah masalah cinta yang tergadai, sebab cinta bukan barang konkret yang bisa ditaksir dengan nilai uang. Orang –biasanya laki-laki—yang  cintanya tergadai mungkin bisa stres dan gelisah tak bisa tidur selama tiga hari tiga malam dan mengomel-ngomel sampai seminggu karena uang belanja tekor. Gaji sebulan ludes habis untuk ongkos berpacaran.

Itu mungkin sebabnya Gombloh menciptakan lagu “Kugadaikan Cintaku”. Habis mendengar lagu kesayangannya di radio, pukul tujuh dia apel ke rumah sang pacar. Eh, si pacar kelihatan di depan mata sedang duduk berdua-duaan dengan lelaki yang lain lagi sambil bercium-ciuman. “Mimpi apa aku semalam?” katanya. Begitulah cinta Gombloh telah tergadai, dan tak mungkin bisa ditebus di Kantor Pegadaian.

Suatu ketika dua orang sahabat bercanda dalam senda gurau. Bertanyalah seorang di ataranya, mengapa di dalam masjid tidak ada organ. Maka sahut temannya, “Sandal jepit saja hilang …apalagi organ.” Sahabatnya itu kebetulan beriman Kristen, dengan serta merta membalas, mengapa pada hari Natal semua Kantor Pegadaian ditutup. Jawabnya, “….sebab pada hari Natal Sang Penebus telah datang.” Akh, mosok Dia datang untuk menebus barang-barang gadaian. 

Itu soal gadai-menggadai dan tergadai. Nama Pegadaian itu dapatlah dipastikan, atau tentulah berawal dari kata “gadai”. Dari kata dasar “gadai” akan muncul kata kerja aktif “menggadai” atau “menggadaikan”. Proses menggadaikan itu kita sebut “penggadaian”. Maka seharusnya kita sebut kantor itu Kantor Penggadaian, karena telah terjadi proses menggadai di situ. Lalu mengapa kantor itu disebut  “Pegadaian”? Jangan-jangan “Pegadaian” telah kehilangan huruf  /ng/ karena telah tergadaikan dan tidak bisa ditebus.

Meminjam uang dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan disebut juga “bergadai’. Sekarang ini kata “bergadai” tidak lagi terdengar atau terucapkan orang banyak. Kata “bergadai” akan memunculkan  kata  berimbuhan “mempergadaikan” dalam arti membuat atau memaksa orang untuk bergadai (karena kepepet uang juga). Karena itu tempat orang bergadai mestinya disebut Kantor Pergadaian, dan bukan Pegadaian. Sebagai bandingan, tempat bermukim itu kita sebut “permukiman” dan tempat berlindung kita sebut perlindungan.

Rupa-rupanya kata “pegadaian” itu pun telah kehilangan huruf /r/. Mungkin juga karena telah tergadai dan tidaka pernah ditebus. Sebab itu orang banyak menyebutnya kini sebagai Kantor Pegadaian saja. Sialnya, KBBI dan kamus KUBI (Kamus Umum Bahasa Indonesia) di lemari buku saya hanya mencatat kata pegadaian sebagai kesepakatan umum, tetapi di situ tidak tercantum kata pergadaian. Jikalau ada kata “bergadai” maka haruslah ada “pergadaian”. Salah kaprah, tetapi kita mau bilang apa?

I. Umbu Rey 


 



    


1 komentar:

zeliya mengatakan...

semalam saya mimpi kalo saya kepeagadaian untuk digadaikan barang - barang saya supaya saya bisa beli mamaku punya parfum