Pak SBY adalah Ketua Dewan Pembina dari partai berkuasa.
Dialah salah seorang dari, konon, sembilan
pengagas dan pendiri Partai Demokrat yang menjadi pemenang pemilu dua periode.
Mungkin karena dia berperawakan besar dan ganteng pula, maka terpilihlah dia menjadi
ketua dewan pembina, dan selanjutnya menjadi presiden Republik Indonesia.
Apa tolok ukur seorang menjadi ketua dewan pembina dalam
partai itu saya tidak tahu, sama halnya saya tidak tahu pula mengapa SBY menjadi
presiden Republik Indonesia
keenam. Ada
yang mengatakan hidup ini adalah wujud dari hasil kerja keras dan cerdas otak, tetapi
ada pula yang mengatakan karena peruntungan. Anehnya, kerja keras dan cerdas
akal pun tak mesti menentukan orang bisa memperoleh keberhasilan, kalau tidak
disertai hoki. Maka berkatalah seorang pendeta yang menyebut dirinya “drunken
priest” “Kalo lo kagak punya hoki, jangan harap lo masok sorga”.
Hoki itu bahasa Tionghoa yang dalam bahasa Indonesia kita
sebut peruntungan atau nasib. Nasib bisa mujur tetapi bisa juga sial atau apes.
Dunia kehidupan adalah ibarat gelanggang lomba bagi manusia yang telah
ditentukan nasibnya menurut takdir. Yang terdahulu akan kemudian dan yang kemudian
akan terdahulu. Kalau hoki menyertainya, dia mujur, dan kalau dalam perjalanan
takdir dia tidak memperoleh hoki, maka
apeslah dia. Banyak orang cerdas pandai mengatakan hidup ini pilihan, tetapi
pastilah tak ada manusia yang memilih hidup menjadi apes melulu. Itu mungkin sebabnya
orang selalu saja mengharapkan nasib baik atau peruntungan dalam segala
pekerjaan.
Dalam tayangan Kick Andy di layar teve Metro (15 Juni 2012),
seorang Dahlan Iskan telah menjadi kaya dan ditunjuk pula oleh Presiden SBY dalam kabinetnya sebagai menteri BUMN.
Sebelumnya, dia memangku jabatan direktur utama PLN. Ketika kecil dia hidup
miskin papa, tak punya apa-apa. Lahirnya kapan tak jelas pula. Dia menaksir
umurnya dalam tahun 2012 adalah 61 tahun. Ayahnya mengatakan dia baru mulai
merangkak waktu Gunung Kelut meletus, dan itu terjadi pada tahun 1951. Bulan
dan tanggal lahir, dicatatnya saja sendiri sama dengan tanggal kelahiran RI, 17
Agustus.
Hidup dalam kemiskinan yang tak tentu arah macam Dahlan
jumlahnya tak sedikit di kampungnya, tetapi hanya Dahlan saja yang ditentukan
oleh hoki untuk menjadi menteri. Beberapa orang yang lain mungkin juga jadi orang baik dan
berhasil punya perusahaan besar dan hidup bermegah dalam kemewahan berlimpah,
tetapi sisanya lebih banyak masih tertatih-tatih dalam alam “kere” yang mungkin
tak kan
berkesudahan. Mereka pun telah bekerja keras dan cerdas pula dalam perjalanan takdir
kehidupannya. Tak diceritakan apakah menjadi menteri adalah cita-cita Dahlan
kecil ketika masih sekolah di madrasah dulu dan bagaimana dia berusaha kerja
keras dan cerdas untuk mencapai kedudukan menteri. Dia cuma mengatakan
kemiskinan itu dinikmatinya saja apa adanya.
Barangkali Pak SBY pun demikian, hoki agaknya selalu saja menyertai
perjalanan hidupnya dalam takdir yang tidak dia ketahui. Takdir adalah
ketentuan atau ketetapan Tuhan (KBBI Pusba), dan karena itu orang mau jadi apa
kemudian sesungguhnya adalah ketetapan Tuhan juga. Maka berkatalah Pengkhotbah,
apa yang terjadi sekarang sesungguhnya telah ditentukan sebelumnya. Konon, SBY bercita-cita
menjadi tentara seperti ayahnya, dan dia berhasil menjadi jenderal pula. Tetapi,
hoki menyertai orang dalam perjalanan hidupnya untuk menjadi sesuatu yang tak
pernah ada dalam angan-angannya ketika kecil. SBY pun menjadi presiden RI. Dia
Ketua Dewan Pembina (Partai Demokrat) kini.
Ketua Dewan Pembina artinya ketua yang memimpin atau bertugas
mengetuai dewan atau majelis atau badan yang terdiri atas beberapa orang
anggota yang pekerjaannya memberikan nasihat, memutuskan suatu hal, dsb dengan
jalan berunding (KBBI Pusba). Apakah SBY berhasil membina atau memimpin,
mungkin pembaca coretan ini sudah banyak tahu.
Pada kenyataannya SBY
tampak geram ketika dia berpidato di layar televisi, lantaran partainya turun
peringkat elektabilitas di mata rakyat, nyaris sampai pada titik paling nadir.
SBY membina partainya untuk berdiri di atas asas cerdas, bersih, dan santun,
tetapi orang pintar, cerdas, dan santun binaannya justru tidak jujur, dan melenceng
dari asas itu, dan menjadi manusia paling korup dan merusak citra partai Demokrat.
SBY pun berkata, “Karena nila setitik rusak susu sebelanga”.
Walaujpun begitu dia berkilah, persentase jumlah koruptor dalam partai yang
dipimpinnya jauh lebih kecil daripada
partai besar lain, dengan menyebut data hasil survai entah dari mana sumbernya.
Tetapi, para pengamat politik mengatakan nilai korup paling besar sampai
mencapai triliunan rupiah justru dilakukan oleh hanya segelintir oknum Partai
Demokrat.
Dari segi tata bahasa, SBY disebut memegang jabatan di
partainya sebagai Ketua Dewan Pembina. Itu logika yang lurus, sebab
dia adalah ketua yang memimpin dewan pembina. Bukankah dewan pembina itu adalah
badan atau sekelompok orang yang membina
atau memimpin anggota partainya supaya berjalan lurus menurut asas yang telah
ditentukan?
Pada umumnya partai
lain menyebutkan jabatan Ketua Dewan
Pimpinan Pusat (DPP), Ketua Dewan
Pimpinan Daerah (DPD) dan Ketua Dewan
Pimpinan Cabang (DPC). Ini logika yang miring pengertiannya. Ketua Dewan
Pimpinan Pusat boleh jadi juga berarti ketua dewan atau majelis yang dipimpin
oleh pusat karena kata “pimpinan” berarti (orang) yang dipimpin atau hasil memimpin.
Kalau kita menyebut “dewan pimpinan pusat” maka “pusat” itu
boleh kita pertanyakan siapakah dia, dan apakah jabatan dia sesungguhnya. Tentu
saja dapat kia katakan bahwa “pusat” itulah yang memimpin dewan. Kalau begitu,
“pusat” itu adalah ketua juga lantaran dialah yang memimpin dewan. Lantas,
“ketua dewan pimpinan pusat” itu apa maksudnya. Ketua dewan yang dipimpin oleh
pusatkah, atau ketua dewan pimpinan itu berada di pusat.
Kata “pimpin” seharusnya sama atau identik dengan “bina”
karena keduanya berarti hasil memimpin dan hasil membina. Baik “pimpinan”
maupun “binaan” bukanlah pemimpin atau
pembina. Jikalau Partai Demokrat memberikan SBY jabatan sebagai “Ketua Dewan Pembina”, mestinya partai
yang lain pun menyebut “Ketua Dewan
Pemimpin Pusat”. Demikian pun Ketua Dewan Pemimpin Daerah itu adalah ketua
dewan yang memimpin di daerah atau di cabang. Mereka itu bukan pimpinan atau
orang yang dipimpin. Mereka pemimpin dan bertugas memimpin di daerahnya.
Logika “dewan pimpinan’ ini miring jalannya lantaran kata
“pimpinan” telah umum atau telanjur dimengerti atau diberi pengertian sebagai
“kumpulan para pemimpin”. KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia IV) mengartikan
“pimpinan” adalah hasil memimpin; bimbingan;
tuntunan. Tentu saja “binaan” juga berarti hasil membina. Demokrat itu adalah
partai binaan (yang dibina, dibangun oleh) SBY, artinya SBY adalah pembina
Partai Demokrat.
SBY membangun partai dengan bahasa terang, logikanya lurus langsung. Logika yang lurus ini
agaknya tak menentukan suatu partai yang dibina akan otomatis menjadi baik dan
lurus pula jalannya sesuai asas yang telah ditentukan. Di negara demokrasi
lain, semisal Amerika Serikat, logika menentukan jalannya kehidupan yang baik
sebab bahasa mereka nalar untuk sampai pada tujuan dan mewujudkan cita-cita,
tetapi di Indonesia
logika masih harus ditentukan oleh hoki, peruntungan, atau nasib mujur.
Orang mewujudkan hoki dengan simbol-simbol baik benda maupun
angka. SBY senang akan angka 999 menurut buku seri PAK BEYE karangan Wisnu
Nugroho. Di mana-mana lambang angka 999 akan muncul, bahkan nomor telefon
genggamnya pun bernomor buntut 9949. Itu tanggal lahirnya.
Benarkah tanggal lahir menentukan hoki seseorang? Pak
Menteri Dahlan Iskan tak jelas tanggal lahirnya, toh jadi orang kaya juga dan
menteri pula. Hoki bagi orang yang lain lagi mungkin menggunakan benda lain
sebagai simbol peruntungan. Tomy Soeharto memiliki kekayaan berlimpah konon
karena warisan hoki ayah bundanya. Dia mendirikan perusahaan bernama HUMPUSS tetapi
orang banyak lalu memelesetkan nama perusahaan itu dari singkatan Hasil Usaha
Mama Papa Untuk Saya Semua. Hokinya bagus betul dan simbol peruntungan adalah
kekayaan itulah.
SBY teguh kokoh berdiri dalam lindungan hoki, meskipun
partainya gonjang-ganjing diterpa isu korupsi. Satu dua kader sudah masuk bui
KPK karena status tersangka dan narapidana, dan ketika kekuasaan SBY sudah
hampir sampai pada kesudahan, ketua umumnya Anas Urbaningrum pun tergoncang
badai korupsi.
Adakah Anas berambisi menggantikan SBY, agaknya iya,
meskipun belum pasti betul. Usahanya untuk naik singgasana ketua umum Partai
Demokrat, konon, dilakukannya dengan cara di luar asas cerdas, bersih, dan
santun. Dia diduga kuat melakukan suap. Maka berkatalah pula Pengkhotbah,
“Ketika orang bijak melakukan penipuan, sesungguhnya dia berlakon layaknya
orang bodoh. Uang suap itu akan merusakkan keagungan wataknya.”
Berkatalah SBY dengan suara geram tetapi santun,
“Perhatikan, kalau ada kader yang merasa telah melakukan perbuatan tercela,
saya mohon keluar dari partai ini sekarang juga.” Para
pengamat politik mengatakan SBY sedang menasihati seluruh kadernya, tetapi seorang
ahli mengatakan itu sindirin lurus tepat ke sasaran Anas Urbaningrum, supaya
dia mengundurkan diri saja. Agaknya hanya Ketua DPP bidang komunikasi Partai
Demokrat saja yang mampu membaca pernyataan SBY. Sebelum SBY geram Ruhut sudah
lebih dahulu meminta secara terang-terangan agar Ketua Umum Anas Urbaningrum mundur
sementara. Dia telah ditegur oleh atasannya.
Anas telah diperiksa KPK, tetapi mungkinkah Anas tetap teguh
di kursi ketua umum? Tergantung hoki.
Umbu Rey