Selasa, 07 Agustus 2012
Anjing Perempuan
Senin, 30 Juli 2012
Pegadaian
Senin, 02 Juli 2012
Polisi Berhasil Bekuk DPO
Kamis, 28 Juni 2012
Ketua Dewan Pembina (harus punya hoki)
Kamis, 17 Mei 2012
NEGARA PALING BERAGAMA
Senin, 30 Januari 2012
Jiplak
Zaman dulu ketika saya masih duduk di Sekolah Rakyat (SR) di kampung, Pak Guru biasanya mengharuskan murid-muridnya menggambar peta sebuah pulau tatkala dia mengajar ilmu bumi. Kalau Pak Guru menerangkan mengenai Pulau Jawa misalnya, maka gambar pulau itu harus ditempelkan di buku catatan ilmu bumi murid-muridnya.
Dengan begitu, murid-murid terbiasa melihat peta dan mengetahui persis letak kota dan wilayah di pulau itu dengan hanya melihat titik-titik yang tertera pada gambar itu. Peta yang dibuat murid-murid itu disebut “peta buta”.
Untuk menggambar bentuk pulau itu secara lebih tepat, kami menempelkan kertas tipis transparan di atas gambar Pulau Jawa dalam peta atau atlas lalu menarik garis mengikuti bentuk pulau yang ada di bawah kertas tipis itu. Hasilnya dipindahkan ke buku catatan ilmu bumi milik murid pada bagian atau bab mengenai Pulau Jawa.
Pekerjaan memindahkan gambar Pulau Jawa dari peta atau atlas ke buku catatan ilmu bumi melalui kertas putih transparan itu disebut “menjiplak atau penjiplakan”. Proses menjiplak itu kemudian disebut juga sebagai “mencontek”, dan belakangan berkembang pula pengertiannya menjadi “mencuri karangan orang lain dan mengakuinya sebagai karangan sendiri”.
Dahulu, menjiplak adalah pekerjaan yang boleh-boleh saja dilakukan oleh para murid SR karena pada umumnya mereka tidak pandai menggambar peta. Tetapi, ketika pengertiannya berkembang menjadi “mencuri karangan orang lain” maka perbuatan menjiplak itu masuk kategori pidana atau kejahatan melalui tulisan. Itu sebabnya orang yang menjiplak karangan atau tulisan orang lain dapat dituntut ke muka pengadilan.
Setakat ini banyak calon sarjana melakukan hal itu baik secara keseluruhan maupun sebagian saja. Maka supaya terhindar dari tuduhan penjiplakan, pada catatan kaki skripsinya selalu ditulis sumbernya. Kalau tidak begitu, si calon sarjana bisa dituduh mencuri karangan orang lain dan gelar sarjana bisa dibatalkan dan bahkan mahasiswa penjiplaknya dapat dijeboskan ke dalam penjara karena penipuan.
Perbuatan menjiplak itu sebenarnya bukanlah perbuatan tercela selama dilakukan dengan jujur. Orang menyalin karangan orang lain asalkan tidak disebarkan dan diperjualkanbelikan tanpa sepengetahuan (izin) pemiliknya dengan maksud untuk kepentingan sendiri tak akan menimbulkan dampak kejahatan.
Uang kertas yang ada di tangan Anda itu bukankah hasil penjiplakan juga? Aslinya hanya ada satu saja dari tiap-tiap nilai pecahan rupiah, dan yang lain-lain itu walaupun kelihatannya sama persis dengan aslinya, sesungguhnya palsu semua. Pada zaman Orde Lama di dalam uang kertas tertera tulisan “Barangsiapa meniru atau memalsukan uang kertas dan barangsiapa mengeluarkan dengan sengaja atau menyimpan uang kertas tiruan atau uang kertas yang dipalsukan akan dituntut di muka hakim.”
Lalu, siapakah “yang meniru atau memalsukan” uang kertas itu, tentulah pemerintah juga. Yang mengeluarkan dengan sengaja pemerintah juga, yang menyimpan yang kertas tiruan atau uang kertas yang dipalsukan adalah pemerintah juga. Kalau begitu yang dituntut di muka hakim, seharusnya pemerintah juga, tetapi polisi diam saja, tidak ada yang dituntut di muka hakim.
Pada zaman Orde Baru kalimat pada uang kertas itu diperbaiki, “Barangsiapa meniru, memalsukan uang kertas dan atau dengan sengaja menyimpan serta mengedarkan uang kertas tiruan atau uang kertas palsu diancam dengan hukuman penjara.” Sama saja dengan uang Orde Lama. Perbedaan paling mendasar terbaca pada frasa terakhir “dituntut di muka hakim” diganti dengan “diancam dengan hukuman penjara”. Pelaku kejahatan dia-dia juga (pemerintah), tetapi tidak diancam dengan hukuman penjara.
Itu sebabnya pada zaman Reformasi tulisan di uang kertas sudah dikoreksi dan diganti dengan kalimat “Dengan rahmat Tuhan Yang Maha Esa, Bank Indonesia mengeluarkan uang sebagai alat pembayaran yang sah dengan nilai....” Dengan begitu penjiplakan uang menjadi sah atau resmi. Pemerintah yang menjiplak uang kertas itu pun tak akan pernah dituntut di muka hakim, juga tak ada ancaman penjara. Kalau penjiplakan dilakukan oleh masyarakat umum dengan maksud memalsukan untuk kepentingan sendiri barulah polisi akan bertindak.
Kalimat dalam uang kertas pada zaman Reformasi sekarang ini tampaknya ingin meniru-niru uang kertas dolar Amerika Serikat, tetapi kelihatan agak malu-malu karena nanti dikira menjiplak. Di dalam uang kertas dolar Amerika Serikat tertulis IN GOD WE TRUST. Hanya empat kata, maka resmilah uang kertas itu sebagai alat pembayar. Tak perlu pakai tulisan ancaman penjara sebab pastilah itu terjadi kalau polisi telah menangkap para pemalsu uang kertas.
Saya agak ragu untuk mengatakan bahwa seorang profesor di Indonesia telah menemukan sesuatu yang baru dalam disertasinya untuk memperoleh gelar doktor sebab yang ditulisnya itu sesungguhnya penuh dengan catatan kaki dari teori-teori ilmuwan sebelumnya. Jadi, gelar doktor yang diraihnya adalah hasil penjiplakan juga, yakni karangan orang lain yang dikutip lewat catatan kaki.
Penjiplakan itu bahasa kerennya adalah “plagiarism” dari kata kerja “plagiarize” (Inggris). Orang yang menjiplak disebut “plagiarist” atau plagiator , sama juga artinya dengan penjiplak atau tukang jiplak. Kalau tak ada catatan kaki atau sumber tulisan, sang doktor pun bisa dituduh melakukan kejahatan lewat tulisan.
Mesin fotokopi dibikin untuk memudahkan pekerjaan menyalin sebab sebelum mesin –yang berkembang menjadi faksimile--- itu ditemukan, orang hanya melakukan pekerjaan menyalin atau menulis ulang di kertas lain. Mengetik dengan menggunakan karbon dapat juga disebut menyalin. Itu sebabnya salinan dari hasil pengetikan disebut juga tembusan atau tindasan dalam surat menyurat resmi. Disebut “tembusan” karena diketik sampai menembus ke kertas tik di belakangnya.
Ketika mesin fotokopi perlahan-lahan tergantikan oleh sistem kerja komputer maka pekerjaan menyalin tulisan atau gambar menjadi lebih mudah dilakukan. Dewasa ini, proses penyalinan dilakukan hanya dengan menekan jari telunjuk pada tetikus atau “mouse” komputer. Dalam hitungan detik saja pekerjaan penyalinan tulisan selesai dilakukan.
Proses yang begini ini lazim disebut dalam istilah komputer “copy paste”. Dalam bahasa Indonesia sudah mulai diperkenalkan istilah “salin tempel” sebagai padanannya, yakni memindahkan suatu tulisan atau gambar lalu menempelkannya pada halaman lain. Sebenarnya sama juga artinya dengan “menjiplak”. Teknologi ”salin tempel” itu dibuat untuk memudahkan pekerjaan manusia lantaran waktu terasa semakin sempit dan usia manusia yang dirasakan terlalu singkat.
Sayangnya, teknologi itu ketika masuk ke dunia orang go-block (apa pun agamanya) telah menjadikan mereka semakin jauh tertinggal ratusan tahun di belakang kecerdasan komputer. Mereka tidak bisa mencipta karena semua yang terjadi dan yang akan tercipta kelak bergantung pada kehendak Tuhan menurut keyakinan mereka.
“Kita tidak boleh mendahului Tuhan,” begitu kata-kata klasik yang keluar dari mulut mereka yang fanatis karena menganggap pekerjaan mencipta sesuatu oleh manusia adalah perbuatan syirik. Maka yang mereka lakukan saban hari adalah meminta-minta dan mengemis-ngemis pada tuhannya dalam sujud doa ritual agama. Tetapi tak ada yang jatuh dari langit sebagaimana ayat-ayat suci yang dipercaya diturunkan dari langit.
Anehnya, doa pun banyak dilakukan dengan menjiplak sesuatu yang telah diucapkan oleh orang lain sebelumnya, dan diulang-ulang pula sampai ratusan kali. Semua yang hendak berdoa hampir pasti menggunakan istlah “memanjatkan”doa, dan karena itu Gus Dur pernah kasih komentar, “Kita seharusnya banyak-banyak memanjatkan doa, sebab doa memang tidak bisa memanjat sendiri.” Kalau doa saja mesti dijiplak, Tuhan pun tentu saja marah. Pantas doa bangsa ini tak pernah terkabul. Lha, kan doa jiplakan, dan mana pula ada doa pakai catatan kaki.
“Copy paste” atau salin tempel kini digunakan untuk melakukan penipuan dalam tindak perbuatan jiplak-menjiplak. Di dunia artis Indonesia, jiplak-menjiplak dilakukan di mana-mana dan kapan saja. Amerika bikin “breakdance” kita jiplak, orang kulit hitam bikin musik jazz kita jiplak, belakangan mereka bikin musik “mengomel-ngomel” yang disebut “rap” kita jiplak juga. Anehnya, musik keroncong dan campur sari serta dangdut tak pernah dijiplak orang bule. Yang kita klaim sebagai milik asli bangsa ini ternyata jiplakan juga. Di dunia film sama juga begitu.
Sebuah grup band anak-anak muda Indonesia menamakan dirinya G-Pluck untuk mengangkat popularitas dirinya di kancah persaingan dunia hiburan. Sebenarnya nama G-Pluck itu tak ada artinya apa-apa, tetapi ketika nama itu diucapkan dalam ejaan Inggris maka terdengar dalam bahasa Indonesia kata “ji-plak”. Mereka ternyata menjiplak gaya dan lagu pemusik “The Beatles” asal Liverpol, Inggris yang legendaris itu. Massih untung mereka menyebut penciptanya.
Kita paling getol menuduh Malaysia menjiplak lagu atau hasil budaya Indonesia, tetapi kita tidak pernah sadar bahwa kita sendiri pun menjiplak lagu “What A Friend We Have In Jesus” dan menggantinya dengan “Kulihat Ibu Pertiwi”. Begitu juga lagu yang dinyanyikan pada saat mengheningkan cipta pada acara kenegaraan, seratus persen adalah jiplakan lagu rohani yang dinyanyikan di gereja-gereja. Di dunia teknologi bagaimana. Ternyata kita tidak bisa menjiplak, kita tertinggal jauh sekali.
Jiplak itu berbeda dari meniru atau mencontoh. Proses penjiplakan akan menghasilkan bentuk yang sama persis tetapi meniru atau mencontoh paling-paling hanya menghasilkan wujud yang mirip-mirip dengan aslinya. Anda boleh saja meniru sebab setiap orang menjadi tahu karena meniru atau mencontoh tetapi hasilnya tak akan sama persis dengan yang yang ditiru.
Belajar adalah proses meniru juga, dan anak-anak menjadi dewasa karena meniru-niru orang-tuanya, tetapi jiplak atau penjiplakan atau plagiat cenderung dilakukan untuk kejahatan sebab biasanya dengan maksud mencuri karangan orang lain dan mengakuinya sebagai karangannya sendiri. Kalau tidak ketahuan, perbuatan penjiplakan akan menghasilkan keuntungan uang sangat banyak.
Agama ternyata tak bisa mengatur umatnya untuk tidak menjiplak lantaran ternyata ada agama yang terbentuk karena jiplakan dari agama yang sudah ada lebih dahulu. Umatnya fanatis melakukan ritual sampai ke sumbernya di Timur Tengah –katanya untuk membela agama, meneguhkan keyakinan, dan menghapus dosa-- tetapi sesampainya di negeri sendiri, ritual penjiplakan juga dimulai, tanpa rasa salah tanpa rasa dosa.
Jangan heran, seorang pemimpin redaksi di perum penerbitan pers pun melakukan penjiplakan tanpa rasa bersalah. Dia sajikan makalah jiplakan seratus persen dari karangan orang lain yang telah diterbitkan tiga tahun sebelumnya dan diakui sebagai karangannya sendiri.
Pada akhir makalah jiplakan itu ada tambahan catatan kaki yang menerangkan bahwa penulisnya adalah pemimpin pedaksi dan pernah menjabat kepala biro luar negeri. Seakan-akan dia hendak meyakinkan para peserta disikusi bahwa dialah penulis makalah yang disajikannya itu. Padahal semuanya penipuan belaka. Jadi apa boleh bikin.
Emangnya yang saya tulis itu ada? Ada, ada faktanya! Suatu bukti bahwa kita ternyata baru bisa menjiplak, mencuri karangan orang lain sajalah. Dosa? Akh, kan bisa terhapus kalau bilang “tobat”.
I. Umbu Rey
Selasa, 24 Januari 2012
Lembaga Pemasyarakatan Cipinang
Frasa “Lembaga Pemasyarakatan” kedengaran di telinga saya rada-rada aneh, sebab tak sesuai dengan pernalaran akal dan budi. Setiap kali saya bertanya-tanya, itu lembaga sebenarnya mau memasyarakatkan apa, dan untuk apa?
Dahulu penjara atau bui itu tempat menahan orang-orang yang telah dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Negeri karena melakukan tindak kejahatan. Sejak awal dekade tahun 1970-an istilah penjara itu diganti dengan Lembaga Pemasyarakatan, dan dikenal dengan singkatan lapas atau LP saja.
Mungkin istilah penjara dianggap tidak manusiawi karena tidak sesuai dengan kemanusiaan yang adil dan beradab menurut sila kedua Pancasila. Sebenarnya kata “penjara” itu sudah terpeleset pula dari kata aslinya “penjera” yakni tempat orang dihukum supaya jera.
Dahulu, kalau orang meringkuk dalam penjara Tangerang, masuk gemuk pulang tinggal tulang karena kerja secara paksa. Begitulah gambaran keadaan dalam bui yang disampaikan dalam syair lagu D’Loyd. Itu sebabnya orang jahat suka melarikan diri dari kejaran aparat penegak hukum sebab takut disiksa, dan banyak orang takut melakukan perbuataan yang melawan hukum.
Penjara sebenarnya dibuat supaya orang yang terbukti melakukan tindak pidana kejahatan dapat dibikin jera dan bertobat sehingga kelak di kumudian hari jika dia lepas kembali tidak lagi mengulangi perbuatannya. Banyak dari mereka yang telah mendekam bertahun-tahun terbukti bertobat, meskipun sebagian lagi tetap mengulangi lagi kejahatannya. Dalam istilah hukum mereka itu disebut residivis.
Setelah keluar dari penjara bekas orang tahanan itu tetap menganggur karena tidak ada pekerjaan dan tidak dibekali apa-apa untuk mencari nafkah. Mencari pekerjaan halal sulit lantaran nama mereka sudah tercemar sebagai orang jahat yang ditakuti oleh lingkungan masyarakat tempat mereka tinggal.
Tak ada lagi orang yang percaya, dan karena (mungkin) nama sudah tercemar dan tidak ada lagi jalan lain, terpaksalah mereka mengikuti jalan nasib, kembali jadi orang jahat untuk melakukan pekerjaan pidana rutin, siapa tahu mujur nasib bisa berubah. Kalau tertangkap kembali paling-paling masuk bui lagi, dan makan gratis kalau perlu seumur hidup. Mereka itulah yang disebut penghuni hotel prodeo, atau istilah sekarang “romantis”, rombongan makan gratis.
Sekarang ini pemerintah berupaya memanusiakan mereka agar kembali ke dalam masyarakat supaya hidup baik-baik sebagaimana layaknya masyarakat biasa. Karena itu orang jahat dimasukkan ke dalam LP atau Lembaga Pemasyarakatan dan bukan lagi masuk penjara.
Penjara atau bui adalah bangunan tempat mengurung orang hukuman (lihat KBBI – Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi IV). Jelas pengertiannya. Tetapi lembaga pemasyarakatan --bagi saya-- tak jelas benar arti maksudnya.
Menurut KBBI “lembaga” berarti asal mula (yang akan menjadi sesuatu); bakal (binatang, manusia, atau tumbuhan). Jadi, lembaga pemasyarakatan mungkin sekali mengacu pada pengertian bakal manusia yang menjalani proses pemasyarakatan. Tetapi narapidana atau orang hukuman itu bukan bakal manusia, sebab mereka itu adalah manusia dewasa yang karena kejahatannya, ketangkap polisi lalu masuk bui.
Bakal manusia itu sesungguhnya masih berupa janin atau embrio dalam kandungan ibunda. Jadi, pengertian “lembaga pemasyarakatan” sama saja dengan janin atau embrio yang hendak menjalani proses memasyarakatkan manusia. Tak mungkinlah janin dimasyarakatkan? Untuk apa?
Kamus Tesaurus bikinan Eko Endarmoko (cetakan kedua 2007) menyatakan lembaga bersinonim dengan badan, dewan, institusi, institut, majelis, organisasi, dinas, instansi, jabatan, jawatan, kantor, maktab. Karena bersinonim, maka saya ambil saja salah satu kata yang mirip artinya dengan “lembaga”, yakni dinas, jawatan, atau institusi.
Dinas adalah bagian kantor pemerintah yang mengurus pekerjaan tertentu, dalam hal ini mengurus orang jahat atau narapidana. Maka Lembaga Pemasyarakatan itu adalah dinas yang bertugas untuk memasyarakatkan narapidana. Dalam benak saya, pengertian ini pun janggal sekali. Untuk apa narapidana itu dimasyarakatkan? Bukankah narapidana atau orang hukuman itu sebelumnya memang sudah anggota masyarakat?
Menurut KBBI, masyarakat adalah sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya yang terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama. Tetapi, mereka itu juga terdiri atas manusia yang mempunyai berbagai perangai atau watak. Ada yang baik dan ada pula yang jahat. Anggota masyarakat yang baik akan melakukan hal yang baik menurut budayanya, tetapi yang wataknya jelek akan tetap jelek dan tidak mungkin diselamatkan oleh ayat agama apa pun.
Kata masyarakat jika mendapat imbuhan, turunannya begini:
(1). Masyarakat – pemasyarakat – memasyarakatkan – pemasyarakatan – masyarakatan.
Masyarakat itu jelas artinya. Pemasyarakat adalah orang atau dinas yang memasyarakatkan. Pemasyarakatan adalah proses, cara, atau perbuatan memasyarakatkan atau memasukkan dalam masyarakat (KBBI), sedangkan masyarakatan adalah hasil dari proses memasyarakatkan atau yang dimasyarakatkan (istilah masyarakatan itu belum berterima sampai kini dan karena itu belum tercatat dalam KBBI edisi keempat).
Frasa Lembaga Pemasyarakatan Cipinang yang saya tulis sebagai judul coret-coretan ini terasa janggal juga ditinjau dari sudut tata bahasa. Lembaga pemasyarakatan itu sebenarnya hendak memasyarakatkan apa? Jikalau lembaga pemasyarakatan itu kita perlakukan sebagai subjek maka yang hendak dimasyarakatkan adalah Cipinang (objek penderita). Mengapa Cipinang hendak dimasyarakatkan? Tujuannya apa? Cipinang itu bukankah nama tempat di Jakarta Timur, dan semua orang pastilah sudah tahu. Sudahlah, mungkin ini terlalu mengada-ada sebab kita toh semua tahu bahwa Cipinang adalah nama Lembaga Pemasyarakatan itulah.
Jikalau mengikuti logika, frasa pada judul tulisan di atas seharusnya tertulis Lembaga Pemasyarakatan Narapidana di Cipinang. Frasa ini menurut saya benar jika kita mengikuti logika tata bahasa, karena yang hendak dimasyarakatkan tentulah narapidana. Yang jadi persoalan, mengapa narapidana itu dimasyarakatkan, dan untuk apa? Toh, kalau dia kembali ke masyarakat akan menjadi penjahat juga. Orang naik haji saja pergi tobat pulang kumat, karena itu biasanya disebut Haji Tomat. Apalagi narapidana bebas dari kungkungan lapas.
Kalau Pak Harto dulu mengucapkan frasa “memasyarakatkan olahraga” maka itu artinya olahraga mesti digalakkan di dalam masyarakat supaya orang dapat hidup lebih sehat, sebab pada dasarnya olahraga itu memang kegiatan yang menyehatkan. Sejalan dengan itu, jikalau LP hendak “memasyarakatkan narapidana” juga, maka itu artinya narapidana atau orang jahat itu akan lebih digalakkan lagi dalam masyarakat. Tetapi, narapidana itu sesungguhnya tidak menyehatkan karena sudah dicap sebagai orang jahat.
Maka pantaslah tabiat jahat napi kumat lagi kalau sudah keluar dari penjara, atau dimasyarakatkan kembali, bahkan mungkin lebih jahat lagi. Peri bahasa mengatakan orang jahat itu ibarat anjing, biar dirantai dengan rantai emas sekalipun, kalau lepas ke tempat sampah pula dia kembali. Sama juga dengan narapidana yang jika lepas dari lapas akan tetap menjadi jahat.
Contohnya narapidana pengguna narkoba --di mana-mana bahkan di kalangan artis pun banyak-- susah meninggalkan kebiasaannya. Sesudah lepas dari lembaga pemasyarakatan, kembali pula ia menenggak narkoba. Akhirnya banyak yang mati terkapar karena penyakit AIDS.
Ada yang bisa melupakan kebiasaan buruknya itu setelah lepas dari penjara tetapi bukan karena pengaruh ritual agama, tetapi karena siksaan perbuatannya sendiri. Mereka itu tersiksa karena menenggak narkoba, tersiksa karena dikejar bayangan menakutkan karena dia telah merampok dan membunuh orang banyak. Itu sebabnya penjara pada zaman dulu dibuat seperti tempat siksaan supaya orang jadi jera.
Ada penjahat yang menyesal lalu masuk agama tertentu, sesungguhnya untuk mencari perhatian saja, padahal dulunya si pengguna narkoba atau penjahat itu memang sudah beragama. Rupanya dia dipakai untuk mempopulerkan agama tertentu sambil pamer simbol agama di layar teve. Dia disambut oleh pemuka agama untuk memberikan kesaksian, seakan-akan ingin memperlihatkan dirinya sebagai jalan, dan kebenaran, dan hidup. Padahal agama sama sekali tak berperan apa-apa untuk membuat si pengguna narkoba itu menyesal dan bertobat.
(2). Bermasyarakat – mempermasyarakatkan – permasyarakatan – pemasyarakat
Menurut butir (2) di atas, bermasyarakat itu jelas maksudnya. Mempermasyarakatkan artinya membuat supaya bermasyarakat, dan permasyarakatan maksudnya hal bermsyarakat atau tempat bermasyarakat. Pemasyarakat dalam pengertian ini artinya orang yang bermasyarakat.
Jadi, paling tepat seharusnya kita sebut Lembaga Permasyarakatan Narapidana, yakni lembaga (penjara) tempat orang bermasyarakat. Jikalau kita ingin mengembalikan narapidana itu ke dalam masyarakat bebas di luar sana, biarkanlah dulu dia bermasyarakat di dalam bui. Di situ si koruptor dapat bergaul bebas dengan penjudi, pengedar narkoba, pembunuh, perampok, maling ayam, pelacur dan sebagainya. Dengan begitu dia tahu bahwa koruptor itu ternyata lebih jahat dan bahkan lebih hina daripada penjambret dan maling ayam. Mudah-mudahan dia sadar lalu bertobat.
Belakangan muncul istilah baru yang lebih keren dan dianggap sangat manusiawi dan konon sungguh-sungguh sesuai dengan falsafah Pancasila. Orang tahanan atau narapidana itu sekarang disebut warga binaan. Istilah itu pun tidak masuk akal. Soalnya, mereka itu dibina dulu selama dalam bui supaya mendapat bekal hidup yang baik, dan kalau sudah sampai waktunya mereka akan dimasyarakatkan kembali atau dikembalikan ke dalam masyarakat, dengan harapan moga-moga jadi orang baik-baik.
Yang dibina di dalam penjara pun bukan hanya napi kere kelas teri tak kenal hukum, tetapi termasuk di dalamnya juga Pak Antasari Azhar. Lha, yang membina Pak Antasari siapa? Siapa lagi kalau bukan sipir bui atau kalapas. Ganjil betul kedengarannya istilah warga binaan itu.
Semua orang pastilah sudah tahu bahwa Pak Antasari itu orang intelek, ahli hukum yang cerdas pandai. Dia juga mantan ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Semua orang pun tahu Antasari masuk penjara karena korban kongkaling aparat penegak hukum yang munafik. Lha, Ketua KPK kenapa harus pula dibina di dalam penjara, oleh sipir bui lagi.
Anehnya lagi, narapidana warga binaan itu semuanya BERAGAMA, begitulah yang tertera di Kartu Tanda Penduduk (KTP) mereka. Akh, kalau BERAGAMA mengapa mereka harus menjalani pembinaan dalam LP? Apa peran agama dan mengapa tidak mampu mencegah mereka masuk LP?
Pada kenyataannya, menjadi orang baik-baik di LP toh harus bayar juga. Tidak semuanya ingin bertobat setelah mendapat binaan. Konon, menurut penelitian mahasiswa hukum universitas terkenal di Indonesia, tiap-tiap remisi harus dihitung dengan besar uang yang harus dibayarkan kepada petugas supaya lekas keluar dari LP. (sumber: acara Indonesia Lowyers Club di TVone). Kalau tidak dapat remisi nanti penjara akan cepat penuh. Penjahat dan koruptor yang lain pada gilirannya tidak dapat tempat, dan tentu saja tidak kebagian pembinaan.
Para pengacara berlomba-lomba membela koruptor dengan dalih kliennya teraniaya, atau karena ingin membuka jaringan mafia. Pengacara berkelit mencari celah hukum pembenaran untuk meringankan hukuman sampai seringan-ringannya berdasarkan HAM atau hak asasi manusia.
Mereka, para pembela itu berkelit, HAM tidak bisa dibatasi oleh tembok penjara. Akhirnya, kliennya masuk penjara paling lama lima atau tujuh tahun. Setelah dapat remisi, paling banter kliennya mendekam dua tahun saja, itu pun kamar penjara bisa divermak jadi kamar hotel bintang lima. Enak betul dia. Padahal waktu dia melakukan korupsi, mana pernah dia pakai HAM. Disikatnya habis uang rakyat sampai tuntas.
Menurut mantan Ketua Umum PSSI (Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia) yang juga mantan narapidana, Nurdin Halid, yang ketika itu enggan turun dari jabatannya itu, orang yang sudah menjalani vonis hukuman penjara artinya dia sudah dipulihkan kembali karena sudah dibina. Karena itu bekas napi (narapidana) itu pun berhak pula menjadi presiden RI.
Kalau kita turuti logika Nurdin Halid, maka seharusnya istilah lembaga pemasyarakatan itu sudah waktunya diganti dengan Lembaga Pembinaan Narapidana. Dalam pengertian ini unsur kejahatan hanya melekat pada kata narapidana, tetapi setelah usai masa tahanan tidak ada lagi bekas napi, atau bekas orang hukuman. Yang ada bekas binaan sebab sudah terhapus kesalahannya berkat pembinaan.
Dulu memang dia pernah menjadi napi tetapi sekarang sudah pulih karena sudah dibina, bukan? Padahal kelakuannya tetap rusak juga, karena dari sononya memang sudah rusak. Pokoknya, ungkapan “mens sana in corpore sano” tak berlaku di dalam LP. Tubuh mereka memang kuat-kuat dan kekar semuanya tetapi di dalamnya terdapat jiwa yang sakit.
Itu sebabnya penjara atau bui dibuat pada awalnya sebagai tempat penyiksaan supaya orang bertobat, kenapa sekarang jadi tempat pembinaan? Bukankah Tuhan juga menyiksa manusia supaya mereka bertobat? Tuhan Yang Mahaadil biasanya menyadarkan dan mengembalikan setiap manusia yang sesat ke jalan yang benar dengan penyiksaan, lantaran mereka telah melecehkan iman dan menghina Tuhan. dalam kitab suci ceritanya begitu.
Tuhan tidak pernah menggunakan agama untuk menyadarkan manusia. Firaun yang tak pernah sadar dari siksaan sepuluh bala atau malapetaka, akhirnya mati terkubur hidup-hidup di bawah gulungan ombak. Firaun itu beragama apa? Kalau pun dia beragama, agamanya pun tak akan mungkin menyelamatkan Firaun dari kematian.
Anton Medan dan Jhony Indo –dulunya penjahat ulung-- kembali menjadi orang baik sesungguhnya bukan karena agama yang mereka anut. Mereka itu bertobat sebenarnya karena siksaan perbuatannya sendiri selama hidup, jiwa mereka terkungkung seperti diikat dengan borgol berlapis-lapis. Mereka menderita oleh perbuatannya sendiri, sesudah itu mereka sadar lalu menganut agama untuk cari popularitas.
Banyak orang di negeri ini tidak tanggung-tanggung melakukan kejahatan. Pembunuh bayaran bengisnya bukan main, mafia narkoba bisnis besar merusakkan generasi. Tukang korupsi tidak tanggung-tanggung makan uang rakyat, tilap uang negara bermiliar-miliar, ketangkap masuk LP, paling-paling jadi warga binaan. Soalnya, pengacaranya orang cerdas pandai yang dibayar sangat mahal (dari uang korupsi juga), jadi tak soal masuk bui, sebab nanti dapat remisi. Uang hasil korupsi kan masih bejibun. Keluar penjara kagak kerja duduk ongkang-ongkang bisa hidup sepanjang umur. Contohnya Gayus Halomoan Tambunan.
Di dalam LP, ada narapidana mengikuti kuliah, dan sampai waktunya setelah dapat remisi keluarlah dia dengan menyandang titel atau gelar akademik Sarjana Hukum. Habis itu apa kerjanya? Tipu sana tipu sini, rampok sana rampok sini juga, sebab dari sononya memang sudah begitu. Mereka cuma jadi residivis.
I. Umbu Rey